Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Widget HTML

 


BI Kembali Melonggarkan Kebijakan Moneter dengan Menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate Sebesar 25 bps

BI Perwakilan Provinsi Jambi Bersama GenBI Razia Uang Lusuh ke Pasar Angso Duo
Jambipos Online, Jambi-Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 September 2016 memutuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate  (BI 7-day RR Rate) sebesar 25 bps dari 5,25% menjadi 5,00%, dengan suku bunga Deposit Facility turun sebesar 25 bps menjadi 4,25% dan Lending Facility turun sebesar 25 bps menjadi 5,75%, berlaku efektif sejak 23 September 2016.  
 
Pelonggaran kebijakan moneter melalui penurunan BI 7-day RR Rate tersebut sejalan dengan berlanjutnya stabilitas makroekonomi, yang tercermin dari inflasi yang rendah, defisit transaksi berjalan yang terkendali, dan nilai tukar yang relatif stabil. 
 
Di tengah masih lemahnya perekonomian global, pelonggaran kebijakan moneter tersebut diharapkan dapat lebih memperkuat upaya untuk mendorong permintaan domestik guna terus mendorong momentum pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi. 
 
Bank Indonesia meyakini bahwa pelonggaran kebijakan moneter tersebut akan memperkuat kebijakan yang ditempuh Pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui percepatan implementasi reformasi struktural. 
 
Bank Indonesia juga terus berkoordinasi bersama Pemerintah menyiapkan langkah kebijakan agar implementasi UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dapat berdampak optimal bagi perekonomian nasional.

Ekonomi global berpotensi tumbuh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya disertai dengan penurunan volume perdagangan dunia yang cukup signifikan. Pertumbuhan ekonomi AS pada 2016 diperkirakan lebih rendah dari perkiraan semula, seiring dengan masih lemahnya investasi. 
 
Lemahnya pemulihan ekonomi AS dan masih tingginya ketidakpastian yang membayangi ekonomi AS mengakibatkan dipertahankannya suku bunga kebijakan AS atau Fed Fund Rate (FFR) dan diperkirakan hanya akan mengalami kenaikan satu kali pada tahun 2016. 
 
Sementara itu, masih lemahnya aktivitas investasi dan konsumsi di Eropa, semakin memperlambat pertumbuhan ekonomi Eropa. Potensi pelemahan ekonomi juga dialami Tiongkok, sejalan dengan melambatnya investasi, pengeluaran pemerintah, dan masih lemahnya konsumsi. 
 
Di pasar komoditas, harga minyak dunia menurun, sejalan dengan terus meningkatnya produksi minyak OPEC. Sementara itu, harga beberapa komoditas ekspor Indonesia sedikit membaik, terutama CPO.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III 2016 masih terjaga dengan baik, meskipun tidak sekuat perkiraan sebelumnya. Berbagai indikator menunjukkan Konsumsi Rumah Tangga masih cukup kuat, sementara investasi nonbangunan terindikasi belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. 
 
Minat investasi swasta diperkirakan masih belum kuat, sejalan dengan konsolidasi yang dilakukan oleh sektor korporasi sebagai respon pemintaan yang belum sepenuhnya pulih. 
 
Sementara itu, stimulus fiskal diperkirakan masih terbatas, sejalan dengan  penyesuaian belanja  pemerintah pada semester II 2016. Dari sisi eksternal, masih lemahnya ekonomi dan perdagangan dunia mengakibatkan perbaikan ekspor masih tertahan, meski harga beberapa komoditas ekspor mulai menunjukkan perbaikan. 
 
Bank Indonesia memandang berbagai langkah masih diperlukan untuk meningkatkan permintaan domestik guna terus memperkuat momentum pertumbuhan ekonomi. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan 2016 diperkirakan masih akan berada di kisaran 4,9 - 5,3% (yoy).

Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatat surplus pada bulan Agustus 2016, terutama didukung oleh surplus neraca perdagangan nonmigas. Surplus neraca perdagangan tercatat sebesar US$0,29 miliar, lebih rendah dibandingkan dengan surplus pada Juli 2016 sebesar US$0,51 miliar. 
 
Surplus yang lebih rendah tersebut didorong oleh menurunnya surplus neraca perdagangan nonmigas dan meningkatnya defisit neraca perdagangan migas. 
 
Menurunnya surplus neraca perdagangan nonmigas, antara lain, didorong oleh peningkatan impor bahan baku dan barang modal seperti impor mesin dan peralatan mekanik, mesin dan peralatan listrik, serta plastik dan barang dari plastik. 
 
Hal ini memberikan indikasi membaiknya aktivitas ekonomi domestik.  Di sisi lain, aliran masuk modal asing ke pasar keuangan Indonesia hingga Agustus 2016 telah mencapai 11,1 miliar dolar AS, lebih tinggi dari aliran masuk modal asing untuk keseluruhan tahun 2015. 
 
Dengan perkembangan tersebut, posisi cadangan devisa Indonesia akhir Agustus 2016 tercatat sebesar US$113,5 miliar, atau setara 8,7 bulan impor atau 8,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Angka tersebut berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Rupiah melemah terbatas pada Agustus 2016, namun kembali menguat di September 2016.  Nilai tukar Rupiah pada Agustus 2016, secara rata-rata, terdepresiasi sebesar 0,39% dan mencapai level Rp 13.163 per dolar AS. 
 
Pelemahan nilai tukar rupiah lebih dipengaruhi oleh sentimen eksternal terkait timing kenaikan FFR paska FOMC minutes Juli 2016. Namun demikian, pada pertengahan September 2016 nilai tukar rupiah kembali menguat sebesar 0,8%. 
 
Penguatan tersebut didorong oleh meningkatnya aliran masuk modal asing, seiring dengan meredanya sentimen terkait timing kenaikan FFR pada September 2016 dan berlanjutnya implementasi UU Pengampunan Pajak. Ke depan, Bank Indonesia akan tetap menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya.
 

Inflasi berada pada level yang rendah dan diperkirakan akan berada pada kisaran sasaran inflasi 2016, yaitu 4±1%. Tekanan harga mereda pasca Idul Fitri dan mencatat deflasi sebesar 0,02% (mtm) di bulan Agustus 2016. 
 
Deflasi tersebut lebih rendah dari perkembangan harga pada periode pasca Idul Fitri dalam lima tahun terakhir, yang biasanya masih mencatat inflasi. Dengan perkembangan tersebut, inflasi IHK secara year to date (ytd) dan tahunan (yoy) masing-masing mencapai 1,74% (ytd) dan 2,79% (yoy). 
 
Deflasi IHK pada bulan Agustus 2016 terutama bersumber dari deflasi komponen volatile foods (VF) dan komponen administered prices (AP), seiring dengan koreksi harga pasca Idul Fitri. Kelompok VF mencatat deflasi sebesar 0,80% (mtm) atau secara tahunan mencatat inflasi sebesar 5,28% (yoy). 
 
Penurunan harga secara bulanan tersebut terutama bersumber dari koreksi harga beberapa komoditas bahan pangan. Kelompok AP mencatat deflasi sebesar 0,52% (mtm) atau 0,91% (yoy), didorong oleh koreksi pada tarif angkutan antar kota, angkutan udara, dan kereta api. 
 
Sementara itu, inflasi inti tercatat cukup rendah, yaitu sebesar 0,36% (mtm) atau 3,32% (yoy), sejalan dengan masih terbatasnya permintaan domestik, terkendalinya ekspektasi inflasi dan relatif stabilnya nilai tukar rupiah. Dengan perkembangan tersebut, inflasi diperkirakan akan mendekati batas bawah kisaran sasaran inflasi 2016.
 
Sistem keuangan tetap stabil dengan ketahanan sistem perbankan yang terjaga. Pada Juli 2016, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) tercatat sebesar 22,9%, dan rasio likuiditas (AL/DPK) berada pada level 20,8%. 
 
Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) mengalami peningkatan menjadi sebesar 3,2% (gross) atau 1,5% (net). Transmisi pelonggaran kebijakan moneter melalui jalur suku bunga terus berlangsung, tercermin dari berlanjutnya penurunan suku bunga deposito dan suku bunga kredit. 
 
Namun, transmisi melalui jalur kredit belum optimal, terlihat dari pertumbuhan kredit yang masih terbatas. Pertumbuhan kredit Juli 2016 tercatat sebesar 7,7% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 8,9% (yoy). 
 
Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Juli 2016 tercatat sebesar 5,9% (yoy), relatif stabil dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya. Bank Indonesia meyakini pelonggaran kebijakan moneter dan makroprudensial yang telah dilakukan dapat meningkatkan pertumbuhan kredit guna mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan.(Rel-BI)

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar