Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Widget HTML

 


Keluarga Militan Teror Surabaya

Petugas memadamkan api yang membakar sejumlah sepeda sesaat setelah terjadi ledakan di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Surabaya, Jawa Timur, 13 Mei 2018. Ledakan terjadi di tiga lokasi di Surabaya, yakni di Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), dan Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, pada waktu yang hampir bersamaan. ( Foto: Antara / Andy Pinaria )

Serangan di tiga gereja terpisah dilakukan dengan bom mobil, bom sabuk, dan bom sepeda motor. Di Sidoarjo, bom juga meledak di kediaman satu terduga keluarga teroris lainnya.

Jambipos Online, Surabaya - Satu keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan empat anak mereka melakukan serangan bom bunuh diri terkoordinasi di tiga gereja di Surabaya dalam rentang waktu 30 menit, Minggu (13/5/2018).

Metode serangan berbeda-beda. Sang Ayah, Dita Oepriarto, meledakkan bom mobil di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, Jalan Arjuno.

Istrinya, Puji Kuswati, dengan mengenakan bom sabuk mengajak dua putri mereka FS (12) dan FR (8) berjalan kaki dan mencoba masuk Gereja Kristen Indonesia, Jalan Diponegoro, sebelum meledakkan diri di depan pintu.

Dua putra mereka, Yusuf Fadhil (17) dan FH (15) mengendarai sepeda motor dan membawa bom di pangkuan menuju Gereja Santa Maria Tak Bercela, Jalan Ngagel Madya. Bom meledak di dekat gereja.

Sampai berita ini diturunkan, korban tewas dalam tiga serangan itu mencapai 13 orang, sementara korban luka berat dan ringan 43 orang.

“Pelaku diduga satu keluarga yang melakukan serangan. Seperti di Gereja Pantekosta di Jalan Arjuno yang menggunakan mobil Avanza diduga adalah bapaknya bernama Dita Oepriarto," kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

"Semuanya adalah jenis bom bunuh diri, namun jenis bomnya berbeda."

Sampai saat ini, tim Laboratorium Forensik Polda Jatim masih menyelidiki bahan peledak yang dipakai para pelaku.

Pelaku, lanjutnya, merupakan anggota kelompok yang tak lepas dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang merupakan pendukung utama ISIS di Indonesia yang dipimpin oleh Aman Abdurahman.

Malam harinya di Sidoarjo, sebuah bom meledak di Rumah Susun Wonocolo dan menewaskan tiga orang yang menurut polisi adalah keluarga teroris juga -- pemilik bom itu sendiri. Mereka yang tewas diidentifikasi sebagai Anton Febrianto (47), istrinya bernama Puspita Sari (47), dan anak mereka RAR (17).

Kantor Berita Antara menyebutkan bahwa saat polisi tiba di lokasi ledakan, Anton ditemukan masih memegang saklar sehingga akhirnya ditembak untuk mengeliminasi risiko. Tiga anak berusia 10, 11, dan 15 tahun yang diduga anggota keluarga itu sekarang dirawat di rumah sakit.

Lokasi Rusun Wonocolo Sidoarjo hanya berjarak sekitar 10 km dari tiga gereja Surabaya yang menjadi target serangan pagi harinya.

Polisi menolak menyebut mereka yang tewas di rusun itu sebagai korban, karena mereka diduga adalah pelaku teror yang sedang mempersiapkan serangan namun bom meledak lebih dulu.

Kendala Hukum

Meskipun polisi tahu siapa saja yang pulang dari perang Suriah, tetapi tidak bisa bertindak begitu saja karena UU tentang Terorisme nomor 15/2003 tidak bisa menjangkau mereka, sepanjang mereka tidak kedapatan melakukan teror di Indonesia.

Para alumni ISIS Suriah itu tidak bisa diproses hukum dan bisa kembali ke kehidupan seperti biasa hingga akhirnya jadi aktor bunuh diri itu.

“Diindikasikan sel teror yang tidur mulai bangkit. Kita dalami mengapa (bangkit). Ini sedang dalam pendalaman. Saya tidak bisa sampaikan detail karena ini akan ganggu operasi Densus berikutnya. Mereka ini adalah kelompok Jamaah Ansharu Daulah (JAD),” kata Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto di Mabes Polri, Minggu.

Mereka mengincar polisi dan kantor polisi. Rumah ibadah juga diincar sehingga di gereja di Surabaya ada polisi yang terluka karena mereka sedang berjaga.

“UU antiteror kita itu sifatnya responsif. Kita berharap rancangan UU teror terbaru, yang setahun ini berhenti, untuk berlanjut. Polri diberikan kewenangan untuk upaya preventif. Kalau dia terafiliasi kelompok tertentu yang melakukan terorisme baru bisa ditangkap dan diproses (ini terlambat),” sambungnya.

Polri, masih kata Setyo, ingin segera diberikan payung hukum untuk dilakukan upaya preventif. Polri ingin bisa menangkap mereka yang sudah ada indikasi awal melakukan aksi teror.

“Sel-sel ini sudah tersebar dan sudah cukup banyak. Saya himbau masyarakat tidak takut dan resah. Tetap tenang dan melaksanakan kegiatan seperti apa adanya tapi waspada dan hati-hati. Kalau ada yang mencurigakan segera lapor,” sambungnya.

Setyo tidak mempermasalahkan jika TNI terlibat lebih jauh dalam penanganan teror. Yang penting payung hukum bisa preventif. Hanya dengan kecurigaan mereka melakukan atau terafiliasi dengan organisasi tertentu bisa ditangkap atau diproses hukum.

Salah Arah

Mantan Kepala BNPT Irjen (pur) Ansyad Mbai mengatakan jika RUU Antiterorisme yang saat ini masih dibahas di DPR sejatinya melenceng dari harapan. RUU itu tidak hanya bicara soal pencegahan dan penindakan.

“Kita kan inginnya UU yang lebih proaktif. Yang bisa mencegah sebelum kejadian. Yang bisa mencegah saat ada indikasi awal. Tapi RUU yang ada sekarang juga bicara soal kewenangan (institusi lain),” kata Ansyad pada Beritasatu.com di Jakarta.

Sejatinya, soal sharing kewenangan penindakan terorisme, jika diperlukan maka sebaiknya diatur dalam UU yang lain, tidak dicampur dalam RUU antiteror.

“Sekarang ini keadaan (anatomi teror Indonesia) semua kelompok teror menginduk dan berafiliasi dengan ISIS seperti JAD. Mereka ini lebih berbahaya dibanding era JI (Jemaah Islamiyah) dulu yang menginduk ke Al Qaeda. ISIS ini lebih punya tahapan perjuangan,” lanjutnya.

Maka, sebelum tambah terlambat, UU Teror harus lebih bergigi. Termasuk menindak mereka yang baru pulang dari peperangan di Suriah. Juga menindak para penceramah yang kerap menggunakan argumen kebencian dan permusuhan.

“Pelaku teror lapangan ini sebenarnya korban juga dari para pentolan yang suka menjelek-jelekan dan menyebarkan kebencian. Selama ini mereka (pentolan) itu belum bisa ditindak kalau tindakan terornya belum terjadi. Maka kita ini ibaratnya terus memadamkan api tanpa mencegahnya,” urainya.(JP)

Sumber: BeritaSatu.com

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar