Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Widget HTML

 


Viralitas Tak Terbendung

graph-retroV
Viralitas Media Online. IST
Berbicara di forum Publish Asia 2016 di Fort Santiago, Manila, Filipina, chairman Jawa Pos Group Azrul Ananda mengakui masifnya gempuran media online. Mengutip Roy Morgan Research 2015, Azrul menyebutkan bahwa tren global Indonesia memperlihatkan penetrasi Internet sebanyak 43 persen dan penetrasi koran tertahan di angka 34 persen.

Terlepas dari revenue bisnisnya yang relatif kecil, akselerasi readership media online tidak terbendung, berbanding terbalik dengan media cetak dengan stagnansinya.

Viralitas dan Politik
 
Menarik menyimak perjalanan pencalonan Barack Obama hingga menjadi Presiden Amerika Serikat dan korelasinya dengan politik dan bisnis media online di Tanah Air. Ketika mengawali kampanye pada 2007 dan menang pada 2008, Obama, seperti ramai diberitakan, menempatkan potensi viralitas dunia digital di posisi terpenting.

Timnya memanfaatkan secara masif Twitter dan Facebook, blog dan website mengambil manfaat pada kemampuan mengangkat produk, konsep atau “barang dagangan” secara viral. Viral sebagai karakteristik Internet, sebagaimana disimpulkan oleh penulis Jennie M Xue, adalah kemampuan berkembang secara eksponensial berkali-kali lipat dalam waktu sangat singkat.

Sebagai media komunikasi, media online lebih efektif karena lebih mudah diviralkan. Bila sebuah berita di-post di sebuah situs berita, tersedia banyak aplikasi yang siap membuatnya menjadi viral di Internet, seperti Whatsapp, BBM, Twitter, Facebook, Youtube, dll. Perangkatnya pun ada di genggaman, seperti smartphone, tablet, atau laptop.

Koran, kita tahu, tidak memiliki saluran penjangkauan semudah dan sebanyak ini.

Kemajuan teknologi membuat Internet begitu mudah diakses di pelosok-pelosok. Di desa-desa kini tidak mengherankan lagi melihat petani berfoto bersama kopi atau cabe hasil kebun atau kambing ternak mereka lalu di-post ke Facebook atau Twitter melalui smartphone

Pada waktu bersamaan, mereka menerima ratusan posting berupa link-link berita dari situs online sepanjang hari. Kita tahu, setiap akun media sosial terkoneksi dengan ratusan bahkan ribuan akun lainnya.

Media online menjangkau jauh ke pelosok dalam waktu singkat. Hanya dalam hitungan menit, bahkan detik, berita yang di-share melalui beragam aplikasi media sosial akan menjangkau puluhan bahkan ratusan ribu orang, yakni ribuan anggota grup Whatsapp dan BBM, ribuan follower Twitter dan  ribuan teman di Facebook. Penjangkauan sedahsyat ini pun tidak dapat dilakukan koran.

Seorang isteri Pak RT yang tidak pernah membaca koran kini menemukan banyak sekali informasi karena viralitas melalui smartphone di tangannya. Tidak jarang, para petani-petani di pelosok ikut mendiskusikan berita di media sosial, sesuatu yang tak dilakukan media cetak, bukan?

Selain itu, ibarat perang, menyerang melalui media online yang didukung pasukan media sosial juga akan menghasilkan serangan bertubi-tubi. Seorang pengguna BBM bisa mendapat link berita yang sama saat masuk ke akun Facebook atau Twitter-nya. Bahkan ia bisa mendapatkan link-link berita tersebut dari banyak pengguna medsos.

Itulah maka, menyusul perubahan politik AS, Facebook dan Twitter mendapat perhatian lebih luas di Tanah Air. Tim kampanye Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2008 mengadopsi dan mengadaptasi apa yang dilakukan Obama dalam pemanfaatan media online, tanpa meninggalkan media cetak. Kita tahu SBY kemudian terpilih menjadi Presiden RI pada 2009.

Viralitas Internet juga menjadi andalan tim kampanye ketika mengantar Joko Widodo duduk di kursi Gubernur Jakarta pada 2012 dan kursi Presiden RI pada 2014. Dan, semua kandidat Gubernur DKI Jakarta saat ini mengandalkan penyebaran sosialisasi diri melalui media online.

Para politisi yang mengikuti jejak Obama, SBY dan Jokowi, apalagi politisi cum investor, sangat menyenangi anugerah viralitas ini. Itulah maka tidak sedikit investasi para politisi kini mengalir ke media online, termasuk di daerah-daerah.

Koran Berdarah-darah
 
“Masihkah ada orang yang benar-benar membaca koran?” tanya seorang gadis kepada seorang wartawan investigasi Porter Wren (Adrien Brody) dalam film Manhattan Night yang dirilis akhir Mei 2016 ini. Pertanyaan itu diajukan dalam relevansinya dengan pesatnya kemajuan teknologi (gadget) dan Internet .

Di beberapa daerah, sebagaimana dibeber Azrul, revenue bisnis media cetak mungkin masih baik. Beberapa koran grup Jawa Pos bahkan masih mencatat kenaikan revenue 11 persen pada laporan 2015. Tetapi, tidak di Jambi, sebagai contoh, di mana sejak 2014 koran-koran kembali “berdarah-darah” berebut kue iklan.

Hasil observasi pribadi, untuk menembus oplah rata-rata 5.000 eksemplar per hari saja koran-koran utama di Jambi sangat sulit. Selain karena biaya cetak yang mahal, pembeli koran juga menurun. 

Koran-koran kecil dan koran-koran kabupaten dicetak hanya 500 atau paling banyak 750 eksemplar saja. Sirkulasi lebih baik dicatat Tribun, di atas angka 15.000 eksemplar. Koran ini dibaca secara luas di semua lapisan masyarakat.

Di sisi lain, media online bertumbuh pesat, walau omsetnya “kecil-kecilan”. Bila sebelumnya kebanyakan media online muncul sebagai “bentuk lain” dari media cetak mainstream, kini banyak media online mandiri. Tak hanya politisi, para praktisi media bermodal cekak juga menikmati peluang ini.

Dalam catatan wartawan Kompas Bre Redana, perolehan iklan media cetak pada 2014 mencapai kisaran Rp 10 triliun,  jauh lebih tinggi dari media online yang hanya Rp 700-800 miliar. Era media cetak belum berakhir. Memang. Ada ruang dan peluang untuk melakukan inovasi dan kreasi baru.

Tetapi, tanpa maksud menakut-nakuti pemilik media cetak, fakta hari ini menunjukkan bahwa media online menjangkau lebih luas. Seperti lagu Bengawan Solo, kontennya mengalir sampai jauh, melampau laju sirkulasi media cetak.**

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar