Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Widget HTML

 


Putih Batujuah Badusanak

Oktavia Yaumaini Saputri.

Oleh: Oktavia Yaumaini Saputri

Naskah kuno atau manuskrip merupakan dokumen masa lalu yang menyimpan kekayaan intelektual dari para penulisnya. Kekayaan intelektual menyimpan kearifan masyarakat setempat sebagai pemilik teks yang bisa dinikmati hingga hari ini. Kearifan tersebut mengandung nilai-nilai luhur yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakatnya. 

Nilai-nilai tersebut antara lain, tata kehidupan yang terangkum dalam undang-undang, asal mula terbentuknya sebuah daerah yang terangkum dalam tambo, pikiran-pikiran para pendahulu yang terangkum dalam catatan-catatan pribadi, dan cerita-cerita yang menyimpan falsafah dan nilai-nilai moral yang terangkum dalam cerita-cerita fiksi khas daerah pemiliknya. Hampir keseluruhannya, memiliki kaitan dan relevansi dengan kehidupan masyarakat pemilik karya tersebut. 

Kaba merupakan salah satu teks yang masih memiliki relevansi dengan kehidupan masyarakat pemiliknya. Kaba, prosa liris khas Minangkabau berupa cerita yang disusun secara apik yang memuat tentang pola hidup dan nilai-nilai moral masyarakat Minangkabau. 

Nilai-nilai moral di dalam kaba merupakan nilai-nilai dasar filosofi kehidupan masyarakat Minangkabau yang masih berlaku sepanjang alam Minangkabau tekembang. Pola pikir, cara hidup, falsafah yang tersimpan di dalamnya akan sangat bermanfaat bagi seluruh generasi orang Minang yang ada hari ini.

kaba, sebagai salah satu khazanah intelektual masa lalu masyarakat Minangkabau penting untuk didekatkan dengan generasi pemilik yang hadir hari ini. Kaba Puti Batujuah Badunsanak (KPBB) merupakan satu di antara banyak kaba yang menyimpan beragam nilai-nilai dan falsafah hidup masyarakat Minangkabau. Bangunan “jembatan” ini penting untuk dilakukan agar generasi hari ini dapat menikmatinya. 

Hal ini dilakukan juga dengan kekhawatiran bahwa kaba sudah jarang diketahui oleh generasi muda Minangkabau. Mereka lebih memilih mengakrabkan diri dengan karya sastra lainnya yang lebih populer dan baru. 

KPBB merupakan sebuah naskah klasik Minangkabau yang sangat mudah untuk diakses. Kehadirannya secara daring sangat membantu masyarakat awam untuk dapat mengaksesnya dengan perangkat digital. 
Sesuai dengan yang tertera di halaman depannya, naskah ini berjudul Kaba Puti Batujuah Badunsanak (selanjutnya ditulis KPBB). 

Naskah ini dijilid rapi dengan sampul berwarna hitam. Di halaman depan naskah tertera judul manuskrip, “خبر فوتي بتجوه بدنسانق” (Kaba Puti Batujuah Badunsanak). Selain itu, terdapat nomor katalog yaitu “Ms. Or.5974”. Dari bentuk digitalnya, terlihat manuskrip dijilid rapi dengan jahitan di tengahnya tanpa korup. Sampul tidak menggunakan hardcover. 

Media tulis adalah kertas bergaris biasa yang memuat 33 halaman teks KPBB. Tujuh halaman sisanya dibiarkan kosong tidak diisi apa-apa selain nomor halaman dengan angka Arab di halaman recto. Setiap halaman memuat 24 baris per halaman ditulis penuh tanpa batas blok teks menggunakan aksara Arab Melayu berbahasa Minang. Di halaman ke-1 recto, terdapat rubrikasi berupa palimpsest yang diduga ditambahkan kemudian oleh pembaca atau mungkin Ronkel sendiri.

coretan menggunakan tinta merah di atas teks yang ada. Coretan ini diduga dibuat terakhir yang ditulis oleh pengkoleksi atau pembaca naskah. Hal ini terlihat dari warna tinta dan pena yang digunakan yang nyata berbeda dengan tinta yang digunakan di dalam naskah aslinya. Coretan ini dikenal dengan istilah palimses yang juga bisa diindikasi sebagai kekhasan naskah. 

Kekhasan naskah ini bisa terdapat di hampir semua naskah yang ada tergantung dari kejelian peneliti untuk menampilkannya. Kekhasan naskah ini merupakan ciri khas naskah yang diteliti sehingga tidak dan mungkin saja ditemukan di dalam naskah lainnya hanya saja dalam jumlah yang kecil.

Naskah KPBB ini juga memiliki kolofon yang terdapat di bagian akhir naskah. Hanya saja, penulisannya tidak dengan format mengerucut atau segitiga terbalik. Kolofon dalam naskah ini dituliskan secara mendatar mengikuti teks pada bagian sebelumnya. Penulisan kolofon di dalam naskah ini dijarakkan beberapa baris dari teks sebagai penanda pemisahan dan informasi tentang naskah. Informasi tersebut seperti dalam gambar dan kutipan berikut.

“Kaba Puti Batujuah Badunsanak diturut bagaimana yang telah diceritakan oleh orang dengan mulut oleh ketiga kami, Sutan Maharajo, Sutan Kayo, dan Mangkuto Sati, guru2 di Tanjuang Ampalu.”

Kaba Puti Batujuah Badunsanak ditulis sebagaimana yang sudah diceritakan oleh orang secara langsung kepada kami yang bertiga, Sutan Maharajo, Sutan Kayo, dan Mangkuto Sati, guru2 di Tanjuang Ampalu.
Kata “orang” yang menjadi rujukan ketiga guru yang bermukim di Tanjuang Ampalu ini tidak dijelaskan secara mendetail. 

“Orang” yang dimaksud bisa jadi tukang kaba yang terbiasa menghibur masyarakat Minangkabau dalam tradisi lisan yang dikenal dengan nama bakaba. Tradisi ini masih aktif dan lestari di beberapa tempat di Minangkabau dengan cara didendangkan menggunakan alat music tradisional. Di wilayah Pesisir Selatan,  tradisi bakaba dikenal dekat dengan istilah barabab karena menggunakan alat musik tradisional masyarakat setempat yaitu rabab.

Naskah KPBB memiliki alur cerita yang lurus namun memiliki beberapa fragmen dengan beberapa tokoh utama. Meski naskah ini berjudul Kaba Puti Batujuah Badunsanak, namun untuk tokoh utama bukanlah Puti yang tujuh orang tersebut. Mereka hanyalah pengantar cerita di awal yang akan dilanjutkan dengan kisah-kisah selanjutnya dengan tokoh dan karakter yang berbeda.

Awal cerita dikisahkan Tuanku Rajo Tuo memiliki tujuh orang anak perempuan yang bernama: 1) Puti Tuo; 2) Puti Bungo Kapeh; 3) Puti Linduang Bulan; 4) Puti Tangah; 5) Puti Taruih Mato; 6) Puti Kamariah; dan 7) Puti Bungsu. 

Saat mereka mandi di tepian, mereka diserang oleh seekor buaya lalu menyandera Puti Bungsu. Si Buaya meminta bertemu dengan ayah para Puti untuk menikahi Puti Bungsu. Tuanku Rajo Tuo tidak bisa menolak. Ia menikahkan anaknya dengan sang buaya. 

Tidak lama berselang, sang raja dan istinya meninggal dunia. Tinggallah tujuh orang Puti dan seekor buaya di rumah gadang tersebut. Seluruh kakak dari Puti Bungsu tidak senang melihat tingkah adiknya yang menikahi buaya. Akhirnya ia dikucilkan dan dimusuhi. Rumah dan sawah ladang milik mereka diberi batas oleh kakak-kakak Puti Bungsu tersebut sebagai wujud ketidaksenangannya.

Dengan kesaktiannya, sang buaya berubah menjadi pemuda tampan yang bernama Sutan Nan Gombang. Melihat tingkah kakak iparnya kepada istrinya, ia mendatangi mereka di ladang tanpa memberi tahu identitasnya. 

Ia bertanya, mengapa adik mereka dikucilkan dan dibiarkan sendiri? Mereka menjawab bahwa mereka tidak senang dengan perbuatan adiknya yang menikahi seekor buaya. Begitulah setiap hari, Puti Bungsu dikucilkan dan dibully. Saat akan berangkat ke ladang bagiannya, Puti Bungsu bertemu dengan seorang tua. Orang tua itu menyebutkan bahwa suaminya sebenarnya adalah seorang yang sakti.

 Orang tua itu menyuruh Puti Bungsu membakar sarang buaya milik suaminya. Ia melakukannya setelah mengeluarkan beberapa peralatan penting suaminya dari dalam sarang tersebut. Ternyata, percikan api dari sarang yang terbakar membuat beberapa perubahan yang menakjubkan. 

Percikan yang jatuh ke laut berubah menjadi kapal, percikan yang jatuh ke ladang berubah menjadi binatang ternak, percikan yang jatuh ke atas atap rumah, mengubah semua isi rumah menjadi emas dan perak beserta dayangdayangnya. Saat Sutan Nan Gombang Diri pulang, ia melihat rumahnya sudah berubah. Ia bertanya kepada istrinya, mengapa bisa menjadi demikian? 

Ia menceritakan sarang buaya milik suaminya sudah dibakar dan percikannya menjadi seperti yang tampak. Ia juga menjelaskan semua barang berharga suaminya yang berada di dalam sarang sudah diselamatkan terlebih dahulu.Saat kakak mereka pulang dari ladang, ia terkejut melihat pemandangan di depan mereka.

Rumah mereka telah berubah megah. Puti Bungsu memanggil kakak-kakaknya ke rumah dan menikmati hidangan lalu menjelaskan semuanya. Puti Tuo meminta adik-adikknya untuk meruntuhkan semua batas yang mereka buat sehingga tidak ada lagi sekat di rumah dan ladang mereka. 

Tak lama sesudahnya, Sutan Nan Gombang Diri berpamitan hendak melaut. Sebelum berangkat, ia berpesan kepada istrinya untuk tidak pernah ikut ajakan kakaknya untuk mandi ke tepian. Saat melaut, sampailah ia di sebuah daratan, di rumah ibunya, Mande Rubiah. Di sana, ia menikah lagi dengan seorang Puti bernama Puti Dewa Bangsawan. 

Sementara itu, Puti Bungsu di rumahnya menolak saat akan diajak oleh Siti Kamariah untuk mandi ke tepian. Tak lama berselang, mereka mengajak Puti Bungsu untuk bermain ayunan di pinggir laut. Puti Bungsu mengikuti ajakan kakaknya. 

Ternyata benar prasangka suaminya, Puti Bungsu hanya akan dicelakai. Tali ayunannya diputus sehingga Puti Bungsu terlempar ke dalam laut. Mereka pulang dengan riang lalu memanipulasi sebuah kuburan yang dianggap sebagai kuburan Puti Bungsu. 

Jika nanti suaminya bertanya keberadaan istinya, makam itu akan ditunjukkan. Ternyata di dalam laut, Puti Bungsu diselamatkan oleh sebuah suara. Ia diminta untuk memanjat pohon kelapa sampai suaminya pulang. Menurut kabar, suaminya akan kembali kepadanya.

Benar, suaminya sedang berlayar menuju kediaman Puti Bungsu. Di tengah laut, ia dipertemukan dengan Puti Bungsu yang sudah dalam kondisi mengenaskan karena terdampar berhari-hari. Ia menceritakan semuanya. 

Sesampainya di daratan, Sutan Gombang Diri berjalan sendirian ke rumahnya. Ia disambut oleh Puti Kamariah dan mengatakan istrinya, Puti Bungsu sudah mati karena suatu penyakit. Sutan Gombang Diri menangis dan meminta diantarkan ke kuburannya. Di sana, ia menangis lagi. 

Sesampainya di rumah Puti Bungsu, ia pamit untuk berlayar kembali. Saat sampai di kapal, ia mengajak istrinya untuk datang ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, terkejutlah kakak-kakak mereka melihat bahwa Puti Bungsu masih hidup. 

Akhirnya, karena marahnya, Sutan Gombang Diri pun membunuh seluruh Puti yang enam orang tersebut.Setelah itu, Puti Bungsu hidup dengan suaminya dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama Buyuang Gadang. 

Saat remaja, Buyuang Gadang terkenal sebagai penyabung ayam yang tak terkalahkan. Lalu, ia meminta kepada orang tuanya untuk diajar mengaji oleh seorang Labai di suraunya. Di surau itu, ia pintar sekali mengaji sehingga bisa membaca seluruh kitab. 

Sayangnya, saat gurunya dipanggil menghadiri kenduri ke kampuang lain selama 15 hari, ia difitnah oleh istri Labai tersebut. Ia mengaku telah dilecehkan sehingga membuat Labai marah. Labai menemui Sutan Gombang Diri dan meminta hukuman kepada Buyuang Gadang. Ia harus dibuang ke dalam hutan agar dimakan oleh binatang buas. Hukum berlaku. Buyuang Gadang dibuang ke dalam hutan.

Di hutan, ia bertemu dengan binatang-binatang yang akan mencelakainya seperti macan, gajah putih, rusa, dan monyet. Namun, semuanya tidak mengganggunya bahkan mengajari Buyuang bersilat dengan beragam kepandaian dari para binatang tersebut. 

Ini terjadi karena ia mengaku dibuang oleh orang tuanya atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Saat telah cukup ilmu, ia terdampar di halaman rumah neneknya, Mande Rubiah. Atas suruhan Mande Rubiah, Buyuang Gadang diminta membersihkan diri ke sungai dengan ramuan Mande Rubiah. Rupanya ia tampan sekali.

Saat seorang raja di kampungnya mencari seorang menantu, ia mengikuti sayembara tersebut dan menikah dengannya. Ia memperoleh seorang anak dari perkawinannya tersebut. Lalu, ia mendengar bahwa di kampung lain ada gelanggang aduan.

Seizin neneknya, ia pun pergi ke gelanggang tersebut. Awalnya, ia tidak tahu kalau gelanggang dibuka karena sang Raja mencari menantu. Akhirnya, ia memenangi seluruh pertarungan sehingga harus menikahi Puti Sanangsari, anak dari sang raja. Tidak lama sesudahnya, sang raja berpulang. Sutan Buyuang Gadang pun menjadi raja di daerah tersebut.

Tulisan ini akan fokus membahas tentang karya prosa khas Minangkabau yaitu kaba. Kaba berasal dari bahasa Arab yaitu akhbar yang dimaknai dengan berita atau pesan. Di Minangkabau kata kaba lekat maknanya dengan curito atau cerita yang memiliki makna (Abdullah, 1970). Kaba adalah prosa liris yang sangat populer di Minangkabau. 

Memuat Kisah narasi dalam bentuk panjang dan lengkap. Naskah KPBB yang terdapat di dalam buku ini dapat digolongkan kepada kaba klasik karena memiliki ciri yang sama dengan yang disampaikan oleh Junus di atas. Tokoh Puti Bungsu yang menikah dengan siluman buaya yang memiliki kekuatan sakti merupakan kisah fiktif kolosal dari masyarakat Minangkabau masa lampau.

 Alih aksara ini menggunakan Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor:v0543b/U/1987 untuk kata-kata berbahasa Arab. Pedoman ini lazim digunakan untuk transliterasi teks dari aksara Arab ke aksara Latin. 

Sementara itu transliterasi aksara Arab Melayu atau Arab Jawi menggunakan pedoman yang diterbitkan oleh Yunus St. Majolelo pada tahun 1982 (Majolelo, 1982). Pedoman ini digunakan karena kondisi naskah KPBB menggunakan aksara Arab Melayu yang didominasi dengan kata-kata Minangkabau .

Di dalam tata penulisan Arab Melayu, dikenal dua istilah yaitu suku kata terbuka dan suku kata tertutup. Suku kata terbuka adalah suku kata yang diakhiri dengan huruf vokal (a,i,u,e,o) sedangkan suku kata tertutup adalah suku kata yang diakhiri dengan huruf konsonan. Contohnya, kata “tikar” yang terdiri dari dua suku kata yaitu suku kata “ti” dan “kar”. Suku kata “ti” merupakan suku kata terbuka dan suku kata “kar” merupakan suku kata tertutup.

Berikut akan dijelaskan beberapa aturan dalam penulisan Arab Melayu.

(1) Penomoran suku kata untuk ditransliterasikan ke dalam aksara Arab Melayu dimulai dari belakang. Contohnya kata “melepaskan” yang terdiri dari empat suku kata (me-le-pas-kan).

2. Huruf yang hanya ditulis konsonannya saja dituliskan untuk kata yang memiliki suku kata terbuka berbunyi e lemah ( nenas -نينس), suku kata pertama berbunyi /a/ (tinta - تنت), dan suku kata yang dimulai dengan huruf vokal (ayam - ايم).

3. Penulisan seluruh awalan dan akhiran dituliskan serangkai dengan kata dasar yang mengikutinya, contohnya melompat )ملمفت(, berlari (برلري), terjatuh )ترجاته(, apakah (افكه), dan melaksanakan (ملكسناكن).

4. Kata ulang hanya dituliskan satu kata saja dengan penambahan angka 2 (۲) di akhir kata yang diulang, baik kata ulang tersebut adalah kata ulang seluruhnya atau kata ulang sebagian atau berimbuhan. Contohnya, macammacam (۲ ماچم) dan berlain-lainan (برلين۲نن).

Adapun metode alih aksara yang digunakan adalah metode edisi standar adapun metode alih aksara yang digunakan adalah metode edisi standar karena naskah ini merupakan naskah tunggal. Metode ini dipilih agar memberikan kemudahan dan membantu pembaca untuk memahami makna yang tersimpan di dalam teks (Yudiafi & Mu'jizah, 2001).

Naskah Kaba Puti Batujuah Badunsanak ini merupakan sebuah karyavfiksi khas Minangkabau yang menyimpan nilai-nilai kehidupan masyarakat Minangkabau. Meskipun pada beberapa bagian perlu direkonsruksi, secara keseluruhan naskah ini menyimpan banyak petuah bermakna bagi khalayak. 

Nilai-nilai ketekunan, pantang menyerah, mengalah demi kebaikan dan kemaslahatan bersama, dan tanggung jawab adalah standar moral yang berlaku dalam semua budaya yang ada. Nilai-nilai ini penting untuk dikemukakan agar generasi muda hari ini merasa memiliki dengan budaya mereka. Naskah KPBB ini telah ditransliterasi dari aksara Arab Melayu atau Arab Jawi kepada aksara Latin.

Karena disajikan dalam bahasa Minang, naskah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar agar bisa dipahami dan dibaca oleh seluruh masyarakat dan peneliti Indonesia. Naskah ini dialihaksarakan menggunakan pedoman alih aksara Arab-Latin berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Republik Indonesia No. 158 tahun 1987. 

Adapun metode yang digunakan adalah metode edisi kritis. Pemilihan metode ini didasarkan kepada teori filologi yang. menginginkan pembaca awam dapat memahami setiap kata yang tertulis di dalam teks. Dengan metode edisi kritis, teks disajikan dengan beragam perbaikan kasus salah tulis ringan agar pembaca terbantu dalam membaca teks yang masih dalam aksara Arab Melayu tersebut. (JPO-Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Andalas Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Sastra Minangkabau)

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar