Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Widget HTML

 


Konflik Sosial di Kerapatan Adat Desa Lempur Danau dan Pancuran Bangko



Oleh: Abdul Azis SE

Jambipos-ADAT BERSENDI SARAK, SARAK BERSENDI KITABULLAH, itulah pepatah adat. Namun di kerapatan adat Desa Lempur Danau dan Pancuran Bangko Depati Ninik Mamaknya Pepatah adat itu sepertinya hanya sebatas disebut, dibaca tetapi tidak dipahami. 

Hal ini dibuktikan dengan adanya pelanggaran-pelanggaran adat yang dilakukan oleh para Depati Ninik Mamak itu sendiri, seperti adanya larangan masyarakat untuk berinteraksi sosial dengan Kepala Desa Lempur Danau yang merupakan wakil pemerintah dan kepala pemerintahan di tingkat desa.

Tentunya mau tidak mau masyarakat harus berinteraksi dari segi urusan administrasi pemerintahan dan ini sudah melanggar hukum syarak yang bersendi kitabullah yakni memutus tali silaturahmi.

Mendenda dan mengeluarkan dari adat masyarakat yang ikut berkerja sama dengan Kepala Desa Lempur Danau dalam hal pekrjaan proyek pembangunan desa. Tentunya ini sudah merupakan pelanggaran hukum, karana secara tidak langsung sudah berusaha menghambat pembangunan pemerintah di tingkat desa.

Hal ini membuat masyarakat resah dan merasa terintimidasi (Takut didenda dandikeluarkan dari adat)dalam bekerja mencari nafkah untuk anak istrinya dengan ikut bekerja proyek pembangunan pemerintahan desa .

Adanya ketidak adilan dalam penegakan hukum adat dimana ada masyarakat yang didenda dan dikeluarkan dari adat hanya karena membuat pagar rumah yang dianggap sudah mengganggu atau masuk ke tanah jalan umum.

Sementara disatu pihak ada masyarakat yang membangun pagar rumah yang sama persis tata letaknya tidak ditegur, tidak didenda apa lagi dikeuarkan dari adat. Adanya denda yang dipatok sekehendaknya hatinya saja. 

Sehingga ajung sembah sirih sekapur tidak lagi berguna, yang lebih parahnya lagi pemangku adat depati ninik mamak diduduki hanya oleh kalbunya sendiri. Padahal masih banyak kalbu yang lain yang lebih layak untuk duduk sebagai pemangku adat sehingga tiada lagi tegur sapa dalam menentukan salah benar dalam kerapatan adat.

Maka terbentuklah adat yang teradat-adat (adat yang dibuat-buat) bukan adat sebenar adat. Pelanggaran demi pelanggaran baik secara hukum adat maupun hukum pemerintah oleh depati ninik mamak membuat masyarakat merasa terintimidasi, resah, terlebih para tetua yang pernah duduk di kerapatan adat yang faham dengan adat.

Sebenar adat merasakan adat sudah dibelokkan dan dilecehkan demi kepentingan Orang Pribadi dan kelompok tertentu dan tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja demi kemaslahatan masyarakat. 

Depati maupun Ninik Mamak yang merupakan Orang cerdik bijaksana, Orang kaya budiman dan Orang berilmu telah berubah mejadi Orang cerdik yang khianat (Menghardik, manakut-nakuti masyarakat), Orang kaya yang loba (Tamak, menetapkan denda semaunya dan denda itupun digunakan untuk kepentingan Pribadi/ Motif Ekonomi) dan Orang bodoh( tidak malu berbuat salah/ tidak faham dengan
hukum pemerintah).

Masyarakat menginginkan adat dilaksanakan dengan benar yang bengkok diluruskan, yang kusut diselesaikan, adat tidak pernah salah yang salah adalah yang melaksanakan adat itu maka masyarakat menginginkan pemangku adat diganti dengan orang yang betul-betul faham dengan adat agar pelanggaran oleh Orang adat tidak lagi berlanjut yang notebenenya akan merugikan masyarakat.

Namun depati ninik mamak masih ingin mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai cara, dan yang terakhir dengan cara licik mereka memasukkan salah satu anggota kepolisian sebagai Orang tua cerdik pandai yang sebenarnya akan dijadikan sebagai ayam aduan mereka. 

Hal inilah yang menyebabkan terjadinya Konflik Sosial di kerapatan adat Desa Lempur Danau dan Pancuran Bangko. Awalnya musyawarah demi musyawarah, saran dan pendapat dari tetua telah disampaiakan kepada Depati ninik mamak.

Namun tidak dihiraukan dan mereka masih mempertahankan kedudukan mereka dengan masih memimpin ala mereka sendiri. Puncak kekesalan masyarakat para tetua yang pernah duduk dikerapatan dan adat bersama Pemuda berinisiatif membentuk Pemangku adat yang baru (Pemekaran Pemangku adat bukan pemekaran adat agar adat kuat dan benar kembali) dengan tetap berpegang kepada adat yang satu yaitu Adat bersendi sarak, Sarak bersendi kitabullah dan tetap dibawah naungan depati gayur. 

Namun meraka mengeluarkan jurus licik mereka (Terkurung nak di luar, terhimpit nak di atas) dengan mengadu kepada APH seakan-akan merekalah yang terdzolimi dengan memanfaatkan salah satu anggota Polisi yang telah mereka angkat mejadi Orang Tua cerdik pandai yang sebenarnya mereka persiapkan sebagai ayam aduan mereka.

Mereka menagis mengeluarkan air mata buaya memohon agar tidak dibentuk pamangku adat yang baru hanya trik untuk meluluhkan hati APH untuk mempertahankan kekuasaan.

Dengan didukung oleh masyarakat diperantauan yang menginginkan adat dikembalikan kepada marwahnya Masyarakat telah siap untuk melaksanakan kenduri adat yang direncakan pada tanggal 20 Februari 2023 yang ditandai telah berdirinya Gerbang pintu masuk tempat kenduri.

Banyaknya masyrakat yang menyumbang beras dan memasak lemang, namun akibat pengaduan depati ninik mamak yang masih mau mempertahankan kekuasaanya pihak APH menyarankan agar kenduri ditunda.

Malam ini 18 Februari 2023 kembali ratusan Masyarakat dan pemuda kembali berkumpul menyatakan menolak ditundanya kenduri adat dan tetap ingin melaksanakan kenduri sesuai dengan rencana awal. 

Secara pribadi Penulis berpendapat konflik ini bisa diselesaikan secara adat, diselesaikan dengan mudah dengan cara mencari latar belakang masalah pemicu terjadinya konflik ini dan juga bisa berpedoman pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial. (***)




Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar