Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Widget HTML

 


Pemberantasan Korupsi Jangan Mengendur

BB OTT KPK DI BENGKULU BELUM LAMA INI.IST
Jambipos Online-Kepolisian dan Kejaksaan sedang berusaha keras untuk meningkatkan kinerja dalam pemberantasan korupsi. Tapi, upaya pimpinan dua lembaga tersebut untuk mengembalikan kepercayaan publik dalam penegakan hukum, terutama korupsi, belum membuahkan hasil yang maksimal. 

Publik masih belum yakin sepenuhnya jika Kepolisian dan Kejaksaan dapat memberantas korupsi dengan baik tanpa didasari kepentingan-kepentingan lain selain penegakan hukum. Saat dua lembaga penegak hukum itu belum maksimal dalam pemberantasan korupsi, asa masyarakat ditujukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Sebagai sebuah lembaga yang memiliki kewenangan yang luar biasa (super body), KPK diharapkan mampu menjawab keinginan publik agar Indonesia bisa terbebas dari praktik korupsi. Selama ini, KPK bisa memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. 

Setelah lebih dari 12 tahun berkiprah, banyak kasus korupsi yang telah ditangani KPK, terutama kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi negara. Uang negara sebesar triliunan rupiah pun berhasil diselamatkan KPK. Namun, rupanya KPK tidak bisa secara konstan menjaga ritme yang tinggi dalam pemberantasan korupsi tersebut. 

Pada semester I 2015, kinerja pemberantasan korupsi di lembaga tersebut mengendur. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), pada semester pertama tahun ini kinerja KPK menurun dibandingkan kinerja per semester pada tahun-tahun sebelumnya. 

Pada periode 2010 hingga 2014, KPK rata-rata menangani 15 kasus per semester dengan kerugian negara sebesar Rp 1,1 triliun. Tapi, pada semester I 2015, KPK hanya menangani 10 kasus korupsi dengan kerugian negara hanya sebesar Rp 106,4 miliar. 

Menurut ICW, selama ini KPK berkontribusi sekitar 30% terhadap total kerugian negara dalam kasus-kasus korupsi yang ditangani di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, jika kinerja penyidikan KPK mengalami penurunan, itu berdampak pula terhadap indikator kinerja penyidikan kasus korupsi nasional, terutama pada aspek kerugian negara dan nilai suap. 

Sebenarnya, jika dilihat dari jumlah kasus yang ditangani oleh tiga lembaga penegakan hukum, yakni Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, pada semester ini mengalami peningkatan. 

Sejak Januari hingga Juni 2015, tiga lembaga penegak hukum berhasil menyidik 308 kasus korupsi dengan nilai kerugian negara Rp 1,2 triliun, nilai suap Rp 475,3 miliar, serta 590 tersangka. Pada tahun-tahun sebelumnya, lembaga penegak hukum rata-rata menyidik 253 kasus per semester. 

Memang, dari sisi kasus yang ditangani, kinerja Polri, Kejaksaan, dan KPK patut diapresiasi. Namun, kerugian negara dalam kasus-kasus itu hanya mencapai Rp 1,2 triliun. 

Padahal, sebelumnya nilai kerugian negara yang disidik aparat rata-rata mencapai Rp 2,7 triliun per semester. Jika melihat data-data tersebut, ada penurunan kualitas kasus korupsi yang ditangani aparat. 

Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan yang besar khusus dalam pemberantasan korupsi, penurunan kinerja KPK memberikan sumbangsih yang signifikan terhadap kualitas kasus-kasus tersebut. 

Apa yang membuat kinerja KPK menurun? Sejak akhir 2014 hingga awal tahun ini, turbulensi politik memengaruhi kinerja KPK yang berawal dari keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencalonkan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Persoalan menjadi rumit ketika KPK mengumumkan Komjen Budi sebagai tersangka kasus gratifikasi sehari setelah keputusan Presiden itu. 

Penetapan tersangka oleh KPK itu menuai serangan balik dari Polri dengan menetapkan pimpinan KPK sebagai tersangka secara berturut-turut, dimulai dari Bambang Widjojanto dan Abraham Samad. 

Bahkan, penyidik KPK Novel Baswedan juga dijadikan tersangka oleh Polri. Ditambah bumbu-bumbu politik, peristiwa itu turut memengaruhi kinerja KPK. Lembaga itu mengalami stagnasi dalam pemberantasan korupsi. 

Perkembangan sejumlah kasus yang sedang ditangani KPK, terutama kasus-kasus besar yang melibatkan mantan pejabat negara, hanya bergerak lambat. Nyaris tak ada kasus korupsi baru yang ditangani KPK saat itu. 

Apa yang terjadi pada KPK pada semester I tahun ini seharusnya bisa menjadi pembelajaran. Sebagai lembaga penegak hukum, seharusnya KPK tidak oleh terpengaruh oleh situasi politik. KPK tak boleh terintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik, baik yang dilakukan oleh pihak luar lembaga itu, atau oleh kepentingan politik orang-orang di dalam KPK itu sendiri. 

Situasi seperti ini hanya bisa diatasi jika pimpinan KPK terdiri atas orang-orang yang berintegritas, orang-orang yang tidak memiliki kepentingan pribadi dan semata berpihak kepada kepentingan penegakan hukum. Peran Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK sangat penting untuk bisa menghasilkan tokoh-tokoh seperti itu. 

Sebagai tangan pertama yang menyaring calon pimpinan KPK, Pansel tentu diharapkan bisa menemukan calon pimpinan KPK yang memiliki komitmen besar terhadap pemberantasan korupsi. 

Peran Presiden dan DPR juga penting sebagai lembaga terakhir yang menentukan calon pimpinan KPK terpilih. Jika dirasakan calon yang disodorkan Pansel belum bisa memenuhi harapan publik, Presiden dan DPR bisa meminta Pansel untuk kembali mencari calon. 

Pasal 33 Ayat 1 UU Nomor 30/2002 tentang KPK bisa dijadikan dasar perdebatan terkait peluang Presiden untuk menolak capim KPK. Ayat itu menyebutkan, dalam hal terjadi kekosongan pimpinan KPK, Presiden mengajukan calon pengganti kepada DPR. 

Hal lain yang tak kalah penting dalam rangka meningkatkan kinerja KPK adalah dukungan politik dari eksekutif dan legislatif. Kita tentu berharap agar pemerintah dan parlemen tidak memperlemah KPK melalui revisi UU atau intervensi politik lain terhadap kasus-kasus yang tengah ditangani KPK. 

Biarkan KPK bekerja secara profesional tanpa tekanan politik agar negara ini bebas dari praktik korupsi, kejahatan luar biasa yang dampaknya bisa menyengsarakan rakyat. (Sumber: Tajuk Rencana SP Edisi 13 Sept 2017)

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar