Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Widget HTML

 


Renungan Paskah, Bagai Mencucukkan Jari di Bekas Luka yang Sembuh

Pdt Martin Lukito Sinaga
Oleh: Martin Lukito Sinaga

Pendeta GKPS dan Dosen Luar-biasa di STFT Jakarta

Jakarta-Narasi Paskah atau pun kisah-kisah kebangkitan Yesus dalam Alkitab ditulis untuk menuturkan peristiwa yang sungguh unik, bahkan sui generis. Kisahnya seputar dua peristiwa yang terjadi setelah penyaliban dan kematian Yesus, yaitu kubur kosong dan penampakan-Nya di hadapan begitu banyak kalangan.

Narasi tersebut menuturkan bahwa Yesus telah menangggalkan kain kafan yang membalut-Nya, lalu ia pun hadir secara kasat mata di hadapan para muridnya. Dengan kata lain tubuhnya yang mati ternyata tidak selalu sedemikian dan identitas-Nya yang bangkit dapat dikenali sebagaimana dulunya, semasa Ia bersama murid-muridnya.

Atas realitas kebangkitan Yesus yang unik ini, khususnya karena tubuh-Nya telah bertransformasi tetapi nyata adanya (malah setelah bangkit, Ia menikmati makan dan minum bersama murid-murid-Nya), Paulus dalam catatannya di surat Korintus bab 15 mengatakan bahwa Yesus kini berwujud sebagai “tubuh rohani”. 

Tradisi agama Yahudi mengenal kehidupan setelah kematian, namun hal itu dibayangkan seperti “cahaya bintang-bintang”, bukan berjasad nyata. 

Dalam konteks budaya Helenis kala itu akibat dualisme pemikiran platonis, kehidupan setelah kematian umumnya dilihat sebagai tetap berlangsungnya jiwa yang kekal mengatasi tubuh yang lapuk.

Dengan kata lain, dan hal ini seturut dengan studi kesarjanaan N.T. Wright yang panjang, realitas baru yang hendak dituturkan oleh narasi Paskah ialah kebangkitan menghadirkan diri Yesus secara material. 

Tentu tubuh Yesus yang bangkit baru adanya, namun tak bersifat rohani semata sehingga cara teolog eksistensial, seperti Bultmann, yang mengatakan bahwa Yesus bangkit dalam cerita iman ataupun kerygma pesan Injil, dianggap tak berdasar.

Alasan mengapa kekristenan bisa melewati sejarah ribuan tahunnya ialah berita akan realitas tubuh Yesus yang baru ini, yang bangkit dan nyata, tetapi telah bertransformasi. 

Malah sintasnya kekristenan sampai saat ini diyakini karena pesan dan realitas kebangkitan “tubuh rohani” Yesus itu tetap dirayakan dan dikenang dalam momen yang disebut ekaristi ataupun perjamuan kudus.

Thomas Cucukkan Jarinya

Dalam narasi kebangkitan Yesus yang sedemikian itu, lazimlah muncul keraguan dan Alkitab tidak menutupi reaksi salah seorang murid Yesus, yaitu Thomas akan hal ini. 

Thomas menuntut bertemu Yesus yang telah disalibkan itu secara kasat mata dan berjasad. Kisah tentang Thomas yang menantang kebenaran kebangkitan membantu kita menemukan bahwa realitas kebangkitan bukan kisah mitis sebab keraguan dibiarkan tetap ada. 

Thomas pun, setelah mencucukkan jarinya di bekas luka Yesus yang telah sembuh itu, bereaksi takjub sehingga mengatakan bahwa Yesus adalah Tuhan.

Segera Yesus meresponnya dengan menggarisbawahi apa yang penting: percaya walau tidak melihat sekalipun; agar sekarang Thomas dan umat yang percaya bisa melanjut untuk hidup dari apa yang Yesus ulangi dua kali saat bertemu dengan muridnya dan Thomas sendiri, “Damai sejahtera bagi kamu!”

Dengan ini semua maka memang pesan Paskah hendak mengungkap 2 hal penting bagi perjalanan hidup kita. Yang pertama ialah realitas kebangkitan dengan tubuh yang baru nyata adanya; peristiwa yang mengalahkan kematian itu bersifat material sehingga Paskah bukan sekadar pesan bahwa kelak ada kehidupan yang kekal, tetapi pesan bahwa kenyataan baru yang tak dihantui kehancuran dapat dialami di dunia yang berjasad saat ini. “Damai sejahtera bagi kamu” adalah realitas kemanusiaan yang akan kita alami sampai pada kekekalan nantinya.

Pesan keduanya ialah realitas ilahi itu bukan realitas yang bersifat semata-mata transenden, tetapi juga imanen. Umum kita hayati bahwa janji sorgawi agama menunjuk pada realitas yang mengatasi keseharian historis manusia. 

Namun, karena dalam Paskah yang transenden ini menyilangkan dirinya ke dalam hidup yang sehari-hari, maka yang ilahi itu senantiasa hadir di sini dan sekarang.

Kita bisa membayangkannya seperti realitas virtual hari-hari ini. Tetapi, di sini virtual tak tepat kalau diterjemahkan dan dibayangkan sebagai dunia maya; lebih tepat sesuai makna Latin virtus yang berarti “berpotensi dan berdaya”. 

Dengan kata lain yang ilahi itu akan hadir seperti daya yang mengalami penubuhannya yang khas, yang lantas berdampak dan nyata dalam keseharian kita.

Pengalaman komunikasi virtual kita akhir-akhir ini sebenarnya sudah cukup jelas membuat kita tahu bahwa realitas komunikasi sedemikian itu bukanlah bersifat seolah-olah saja, melainkan laten dan bertenaga sehingga tampak serta berdampak. 

Maka, dengan mengatakan realitas ilahi transenden dan juga immanen seperti realitas virtual, kita tiba pada pengertian bahwa yang ilahi berdampak dan berlangsung memasuki aktifitas kita.

Bekas Luka

Paskah yang berarti bahwa realitas ilahi, kini dapat dialami secara riil, membuat kita tahu bahwa kenyataan kita tidak menuju kehancuran, tetapi ke arah “damai sejahtera”. 

Yang ilahi menghadirkan di antara kita wujud kekekalan-Nya dengan cara mengalahkan maut, atau dengan menghadirkan wajah kehidupan kekal yang berdaya dan berdampak di jalan sejarah kemanusiaan kita.

Akan tetapi, hal ini terjadi bersama luka-luka atau pandemi bahkan kejahatan yang masih menjadi beban kehidupan bersama -demikianlah dicatat- bahwa kebangkitan ada setelah paku penyaliban yang menyakitkan itu. Namun, hal itu semua bagi umat beriman akan seperti pengalaman Thomas yang melihatnya sebagai “bekas luka”, atau parut yang telah sembuh adanya.

Filsuf Ricoeur mengatakan bahwa kisah-kisah Injil tentang kebangkitan ialah tentang Tuhan yang memang terasa tidak sebagai father figure pengawas lagi, tetapi sebagai le dieu capable, agar terhadap-Nya manusia menjadi l’homme capable. 

Kisah Paskah membuat kita mengenal Yesus yang bisa terluka di salib, dan yang dimampukan oleh Tuhan untuk bangkit dan hadir bersama manusia. 

Di sinilah makna kebangkitan untuk kita kini: kita mampu mengatasi luka-luka sejarah, karena arah karya ilahi sebagaimana dituturkan dalam kisah Paskah ialah bersama manusia yang kapabel atau berkemampuan mewujudkan “damai sejahtera”.

Dengan kata lain pada Paskah ini kiranya makin nyata realitas dan tugas kemanusiaan kita: oleh tindakan sang ilahi maka arahnya tak akan pada kehancuran. 

Tidak akan redup karena dipenuhi virus pandemik. Malah Ia yang datang selaku le dieu capable, telah pula membuat kita untuk dari waktu ke waktu punya kapabilitas merawat dan memenangkan kemanusiaan kita. Dan sekiranya ada pandemik dan luka, itu hanya akan menjadi bekas yang sudah sembuh. Salam Paskah!(Dimuat Diharian Kompas Edisi, Sabtu 11 April 2020)

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar