Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Widget HTML

 


Perizinan Terpadu Berdampak Pada Peningkatan Daya Saing Industri Migas

Kegiatan operasional Floating Production Unit (FPU) di Lapangan Jangkrik yang dioperatori ENI Indonesia Ltd di Selat Makasar, telah memulai produksinya pada Mei 2017 lalu. Percepatan perizinan menjadi kebutuhan investor migas untuk bisa memulai operasional eksplorasi dan produksi di lapangan migas yang mereka kelola secara ekonomis. Kehadiran Perpres 91 Tahun 2017 dapat mewujudkan proses perizinan yang lebih terpadu, mudah, dan transparan mulai dari tingkat Pemerintah Pusat hingga daerah sehingga dapat menjadi daya tarik investasi sekaligus meningkatkan daya saing sektor hulu migas Indonesia di tataran global. (Dok: Kementerian ESDM/ENI Indonesia Ltd).


Jambipos Online, Jakarta-Birokrasi yang panjang dan cenderung menghambat investasi masih menjadi keluhan bagi dunia usaha. Kendati pemerintah sudah meluncurkan 17 paket kebijakan ekonomi, namun hal tersebut belum menyentuh industri hulu minyak dan gas bumi (migas). 

Sektor yang mempengaruhi puluhan industri penunjang dan industri pengguna lainnya tersebut masih dipusingkan dengan birokrasi dan regulasi untuk melakukan kegiatan operasionalnya. Padahal, kepastian peraturan dan kebijakan pemerintah yang berdaya saing merupakan hal yang sangat penting bagi investor hulu migas untuk menanamkan investasinya di Indonesia.

Kepala Divisi Formalitas Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Didik Suseno Setyadi, saat ditemui di Jakarta, Kamis (18/4/2018), mengakui perlunya penyederhanaan perizinan untuk menarik investasi migas demi meningkatkan geliat eksplorasi dan produksi migas. 




“Investasi di sektor migas membutuhkan modal cukup besar dan investor akan sangat detil memperhitungkan nilai keekonomian proyek. Kepastian durasi pengurusan perizinan dan sinkronisasi aturan sangat berpengaruh terhadap penghitungan nilai keekonomian proyek. Penyederhanaan perizinan menjadi krusial terutama di saat kondisi harga minyak dunia mulai kembali menanjak seperti sekarang ini, dan konsumsi bahan bakar minyak nasional juga terus meningkat,” ujarnya.

Ditambahkan, dia berharap implementasi Peraturan Presiden No. 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha, khususnya penerapan Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (Online Single Submission/OSS) dapat berjalan cepat dan serentak.

Saat ini banyak perizinan di tingkat nasional yang sudah diserahkan pada sistem Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan dibuat secara online. Selain itu, beberapa peraturan yang dianggap tidak diperlukan juga telah dihapuskan atau digabung dengan peraturan lainnya.

Hanya saja, penyederhanaan hingga pemangkasan perizinan di sektor hulu migas tersebut masih terbatas pada instansi tertentu, yaitu dalam lingkup Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Padahal, perizinan yang terkait pada hulu migas sangat banyak melibatkan kementerian/ lembaga pemerintah lainnya, bahkan hingga pemerintah daerah. 


“Keberadaan PTSP ini akan maksimal jika semua urusan administratif dari Kementerian/ Lembaga diserahkan kepada PTSP, dan yang bersifat teknis dipegang otoritas kemeterian/lembaga yang berwenang. Hal itu akan lebih memangkas waktu pengurusan sehingga dapat membantu investor memproyeksi kegiatan operasional mereka secara lebih tepat,” paparnya.

Perizinan merupakan salah satu tantangan nyata yang harus segera dicarikan solusinya, bila tak ingin krisis energi melanda Indonesia. Tanpa adanya eksplorasi baru dan angka produksi migas yang relatif terus menurun, dikhawatirkan cadangan migas nasional akan segera habis. Perijinan dan ketidakpastian aturan merupakan salah satu penyebab berkurangnya kegiatan ekplorasi migas saat ini.

Mulai dari tahap awal pada masa survei dan eksplorasi hingga pascaproduksi, setiap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) harus mengurus ratusan jenis perizinan dari berbagai instansi pemerintah, baik di level pusat hingga daerah. Sebagai catatan, ratusan perizinan yang harus diurus oleh KKKS tersebut tersebar di 18 instansi dan lembaga pemerintahan.

Didik mencontohkan, eksplorasi di kawasan hutan harus diawali dengan pengurusan izin pinjam pakai. Untuk mendapatkan izin ini, harus ada dulu izin lingkungan yang didahului oleh analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).

Setelah AMDAL digenggam, lanjutnya, kontraktor harus mendapatkan rekomendasi gubernur dan bupati atau wali kota, untuk bisa melanjutkan pengurusan izin berikutnya. 

“Alhasil waktu mengurus izin menjadi tidak jelas karena banyak instansi yang harus ditemui. Bila kami kalkulasi, lama pengurusan bisa mencapai waktu 6 bulan, 1 tahun, bahkan ada yang 2 tahun baru bisa (berlanjut) diproses di kementerian terkait,” ungkap Didik.

Dia berharap, adanya Perpres 91 Tahun 2017 dapat mewujudkan proses perizinan yang lebih terpadu, mudah, dan transparan mulai dari tingkat Pemerintah Pusat hingga daerah. Sehingga hal tersebut pada akhirnya dapat menjadi daya tarik bagi investor untuk menanamkan investasinya di Indonesia sekaligus meningkatkan daya saing sektor hulu migas Indonesia di tataran global. (JP-Rel)

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar