Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Widget HTML

 


Jurnalis Jambi Disuguhi Pelatihan untuk Merebut Ruang Gender di Media

Maria Hartiningsih (Wartawan Kompas 1984-2015). Foto Asenk Lee Saragih.
Jambipos Online, Jambi-Sebanyak 30an Jurnalis online, media cetak dan elektronik Jambi disugihi “Pelatihan Jurnalis yang Sensitif Gender dan Anak Bagi Para Jurnalis”. Pelatihan Jurnalis Jambi ini untuk ,erebut ruang pemberitaan Gender dan anak di media tempat bekerja. Dua narasumber yang merupakan mantan wartawati senior media Nasional itu memaparkan materi soal “Kebenaran jurnalistik” untuk membela kepentingan dan hak warganegara, dengan tujuan mendukung kesetaraan, keadilan, kemajuan kemanusiaan dan demokrasi secara substansial.

“Pelatihan Jurnalis yang Sensitif Gender dan Anak Bagi Para Jurnalis” Jambi yang dilaksanakan di Hotel Dua Weston Jambi, Senin (10/7/2017) itu diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) RI dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jambi dan PWI Provinsi Jambi.(Baca: Jurnalis Jambi Belum Sensitif Gender)

Kegiatan itu dibuka secara resmi oleh Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan pada kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk Pemerintah Provinsi Jambi, Rika Oktavia, S STP, MA dan dihadiri Ketua PWI Provinsi Jambi Saman SPt serta Asisten Deputi Partisipasi Media Kementerian PPPA Drs Fatahilah Msi.

Sementara pemateri (narasumber) pada “Pelatihan Jurnalis yang Sensitif Gender dan Anak Bagi Para Jurnalis yakni Maria Hartiningsih Wartawan Kompas 1984-2015 dan kini sebagai Praktisi Perempuan dan Lestari Nurhajati mantan Jurnalis dan kini Aktivis Perempuan. 

Merebut Ruang Gender di Media

Maria Hartiningsih (Wartawan Kompas 1984-2015) dalam makalahnya yang berjudul “Merebut Ruang Gender di Media” membicarakan secara gamblang soal pemberitaan Gender dan kekerasan terhadap anak.  
Peserta “Pelatihan Jurnalis yang Sensitif Gender dan Anak Bagi Para Jurnalis” Jambi yang dilaksanakan di Hotel Dua Weston Jambi, Senin (10/7/2017). Foto Asenk Lee Saragih.
“Kewajiban utama jurnalisme adalah mengungkap fakta. Pengungkapan fakta yang dapat dipercaya, akurat dan diletakkan dalam konteks yang bermakna sangat penting karena demokrasi tergantung pada bagaimana warga mendapatkan semua informasi itu. Jurnalisme tidak memaknai kebenaran fakta secara absolut atau secara filosofis, tetapi kebenaran yang dapat dan harus dikejar secara praktis,” ujar Maria Hartiningsih. 

“Kebenaran jurnalistik’ ini adalah proses yang dimulai dengan disiplin profesional untuk mengumpulkan dan melakukan verifikasi fakta-fakta. Kemudian jurnalis berusaha menyampaikan laporannya secara fair dan dapat dipercaya dan valid, serta menentukan subyek untuk investigasi lebih lanjut. 
Maria Hartiningsih.
Menurut Maria Hartiningsih, dari sejarahnya dan perjalanannya kemudian, jurnalisme dilahirkan untuk membela kepentingan dan hak warganegara, dengan tujuan mendukung kesetaraan, keadilan, kemajuan kemanusiaan dan demokrasi secara substansial. Maka, hak-hak warganegara menjadi unsur terpenting dari tujuan itu.

“Komitmen kepada warga ini pertama-tama merupakan kredibilitas organisasi media, yang dampaknya merupakan kepercayaan audience bahwa liputan itu tidak berpihak kepada pemasang iklan atau kepada teman, atau pejabat, atau pemodal. Komitmen kepada warga itu juga berarti jurnalisme harus mewakili seluruh kelompok konstituen di dalam masyarakat. Pengabaian kepada kelompok tertentu akan berdampak dengan hilangnya suara mereka,” ujarnya.
 
Namun, arus utama praktik-praktik jurnalisme untuk waktu yang panjang telah menenggelamkan banyak hal penting bisa mengubah narasi besar. Barangkali itu lah yang menyebabkan hiruk pikuk berita sepanjang tahun 1998 seperti mengabaikan peristiwa-peristiwa yang secara fundamental akan menjadi tonggak perubahan arah dari gerak masyarakat yang selama puluhan tahun terpenjara dalam kepatuhan.Baca: Lestari Nurhajati: Liputan Responsif Gender dan Keberpihakan Media)

Disebutkan, kerja jurnalistik secara konvensional, meski mampu menangkap suatu fenomena, tetapi tidak cukup mampu untuk mengungkap duduk-soal sebagai tugas terpenting dari jurnalisme.  Dalam banyak kasus, unsur “why” dan “how” dalam 5W+1H; pertanyaan dasar untuk menjawab persoalan dalam jurnalisme, digarap seadanya dan bersifat “common sense”, sehingga sangat tidak memadai untuk memahami apa yang dilihat sebagai “fakta”. 

“Semuanya terkait dengan pengalaman yang sangat khas, khususnya menyangkut pengalaman perempuan yang untuk waktu amat panjang, tidak diperhitungkan,” sebutnya.

Gender

Kata “gender” bisa jadi dipinjam dari Bahasa Latin, genus, yang berarti jenis atau keturunan.  Dalam  Nomadic Subjects: Embodiment  and Sexual Difference in Contemporary Feminist Theory (2011), Rosi Braidotti menulis, notion ‘gender’ merupakan ‘kecelakaan’ dari Bahasa Inggris, yang tidak ada relevansinya dengan tradisi teoritis dalam bahasa-bahasa non-Eropa dan Eropa Romawi. Maka, istilah ‘gender’ tidak begitu bergema dalam gerakan feminis di Prancis, Spanyol dan Italia. 

Dalam Bahasa Indonesia, istilah ’gender’ sampai saat ini belum ada padanannya, kecuali oleh sebagian orang yang mengubah kata ”gender” menjadi ”jender” (”gender” dalam Bahasa Inggris dibaca sebagai ”jender” dalam bahasa Indonesia). Bahasa Jawa juga mempunyai kata ’gender’, yang dibaca sebagai ’gendèr’, yaitu salah unsur alat musik dari musik tradisional, gamelan. (Baca: Tinggi Kekerasan Terhadap Anak di Jambi)

“Pengertian ”gender” berbeda dengan jenis kelamin biologis yang ciri-cirinya sudah melekat sejak lahir. Misalnya, laki-laki mempunyai penis, perempuan memiliki rahim, payudara, menstruasi, melahirkan, meski pun secara psikologis, pengertian laki-perempuan tak bisa disederhanakan hanya dari ciri jenis kelamin seksual,” katanya. 

”Gender” adalah jenis kelamin sosial; yang merupakan rekayasa atau konstruksi sosial, dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi, sosial, ekonomi, politik, budaya, adat istiadat, etnik, golongan, juga faktor sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu sifatnya tidak menetap.   

“Sebagai contohnya, adalah asumsi bahwa laki-laki itu lebih kuat, gagah, disiplin, lebih pintar, bekerja di di luar rumah ( ruang publik), dan bahwa perempuan itu lemah lembut, keibuan, halus, cantik, tempatnya di dalam rumah dengan pekerjaan seputar sumur, dapur dan kasur (ruang domestik),” ujar Maria Hartiningsih. 

Disebutkan, perbedaan gender itu  dikonstruksi secara sosial dan budaya dalam jangka waktu yang lama, disosialisasikan dari ibu ke anak, begitu seterusnya, sampai akhirnya menjadi nilai yang diinternalisasikan di dalam diri individu, meski pun dalam kenyataannya, banyak laki-laki yang lembut dan banyak perempuan yang lebih kasar. Saat ini ekonomi rumah tangga ditegakkan oleh suami dan isteri. Keduanya bekerja di luar rumah, sehingga asumsi istri tinggal di rumah dipatahkan. 

Upaya mendefinisikan konsep gender telah banyak dilakukan. Kalau menggunakan teori Gayle Rubin (1975), gender adalah divisi sosial yang dikenakan pada jenis kelamin, dibangun atas dasar biologis, perbedaan sistematik seksual manusia, sehingga melahirkan peran-peran, hak dan tanggungjawab yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. 

Namun dalam perkembangan kemudian, jenis kelamin sosial atau gender bukan hanya merupakan suatu divisi biner antara perempuan dan laki-laki, tetapi juga antar beragam jenis kelamin sosial. 

Secara lebih jelas, Cecile Jackson dan Ruth Pearson dalam Feminist Visions of Development: Gender Analysis and Policy (1998) mengutip Scott, menulis, gender sebagai faktor utama dari hubungan-hubungan sosial berdasarkan perbedaan yang dilihat antara jenis kelamin dan cara  paling mudah untuk menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang. 

“Ketidakadilan jender tercipta karena hubungan jender yang timpang dan diskriminasi berdasarkan jender, atau,  ”netral jender” artinya, tidak berperspektif jender. Berbagai pandangan mengatakan, posisi laki-laki dan perempuan sama di depan hukum, seperti sudah dinyatakan secara jelas dalam Konstitusi. Padahal kondisi sebenarnya sangat berbeda. Bahkan pengadilan pun belum mempertimbangkan keterwakilan perempuan dan perspektif jender dalam penunjukan hakim, jaksa, dan panitera,” katanya. 

Kata Maria Hartiningsih, sayangnya, media massa turut melakukan sosialisasi nilai-nilai yang bias gender itu, serta melanggengkan ideologi yang timpang dan diskriminatif terhadap perempuan, sambil terus mengacaukan masalah keadilan dan kesetaraan gender sebagai usaha perempuan untuk menyaingi laki-laki, sehingga tak jarang pemaparan media tentang perempuan mengesankan bahwa perempuan adalah ”super women”. Keadilan gender adalah keadilan bagi laki-laki dan perempuan dan beragam identitas lain atas dasar jendernya. 

Lebih jauh Maria Hartiningsih menerangkan, kerja jurnalistik secara konvensional, meski mampu menangkap suatu fenomena, tetapi tidak cukup mampu untuk mengungkapkan makna di baliknya. Dalam banyak kasus, unsur “why” dan “how” dalam 5W+1H tak cukup tergali untuk menukik pada hal yang lebih mendasar guna mengetahui bentang suatu persoalan. Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat “common sense” saja dalam banyak hal sangat tidak cukup untuk menggali lebih dalam “apa” yang dilihat sebagai fakta. 

“Barangkali itu lah yang menyebabkan hiruk pikuk berita sepanjang tahun 1998 seperti menegasikan peristiwa-peristiwa yang secara fundamental akan mengubah arah dari gerak masyarakat yang selama puluhan tahun terpenjara dalam kepatuhan,” ujarnya.

Setelah reformasi tahun 1998, fenomena yang terlihat semakin jelas adalah perubahan media menjadi mediakrasi. Kita menyaksikan dahsyatnya pengaruh televisi terhadap berbagai persoalan saat ini. Masyarakat pun terkurung dua hal besar: birokrasi dan mediakrasi.

“Kalau kekuasaan birokrasi dikaitkan dengan uang, kekuasaan media terkait dengan  reproduksi citra dan makna yang dihasilkan, lewat gambar, suara mau pun tulisan. Seperti dikemukakan ahli komunikasi Everett M Rogers, melalui reproduksi citra dan makna itulah media massa menghubungkan dunia luar dengan individu, dan memainkan peran penting dalam membentuk dan merefleksikan pendapat umum,” kata Maria Hartiningsih. 

Dalam kaitan ini, media juga berpotensi kehilangan fungsinya sebagai ’penjaga demokrasi’, karena bisa mengatasnamakan ’demokrasi’ untuk mengkontrusksikan peristiwa sesuai kepentingan ideologinya. Dampak dan pengaruh media, baik secara psikologis, sosiologis mau pun teori komunikasi, mengacu pada bagaimana mass media memengaruhi audience berpikir dan bersikap.

Di dalam media massa, euphoria reformasi memang terasa, tetapi gagasan demokrasi dalam arti sebenarnya (substansial), masih sangat baru. 
Maria Hartiningsih
Maka, isu-isu terkait ketidaksetaraan dan keadilan tetap harus berebut ruang. Perspektif yang mengekplorasi kesetaraan dan keadilan antar warganegara, tak mudah digunakan, karena praktik jurnalisme selama ini hanya berpegang pada sesuatu yang baku dan tanpa pisau analisis yang terus berkembang. 

“Bahkan sampai hari ini, ruang-ruang kosong dalam media massa merupakan situs kontestasi: antara idealisme dan akumulasi kapital, antara kepentingan politik media dan kepentingan umum, antar isu, antar ideologi dan perspektif dalam satu isu.  Dengan demikian, media massa tidak hanya mengusung fungsi sebagai kontrol sosial, tetapi juga memiliki fungsi-fungsi lainnya, yang  harus berkompetisi satu sama lainnya,” katanya.   

Di dalam sistem keredaksian juga ada lapis-lapis kekuasaan. Para jurnalis berada di dalam suatu sistem dengan hirarkhi yang cukup ketat dalam menjalankan misi suatu penerbitan. Sidang redaksi terdiri dari para pimpinan mulai dari unit terkecil (editor) sampai pemimpin redaksi yang pandangannya tentang berbagai isu tidak seragam. Sidang redaksi adalah ruang negosiasi, meski  yang paling menentukan adalah yang paling tinggi posisinya. 

Kerja media tidak searah. Dia memengaruhi dan dipengaruhi. Namun, Juga berpotensi dikuasai oleh arus utama pemikiran. Rezim itu berpotensi membuat definisi-definisi tentang mereka yang dianggap sebagai ’liyan’ atau ’the other’. 

Kata Maria Hartiningsih, contoh nyata hal ini terkait masalah seksualitas. Mereka yang dianggap bukan laki-laki dan bukan perempuan, atau mereka yang dianggap ’kotor’ seperti pekerja seks komersial,  tak mendapat tempat dalam kancah politik di ruang publik. Selain itu juga perempuandan anak yang dilacurkan, perempuan dan anak korban perdagangan perempuan, perempuan dan anak korban kekerasan seksual, perempuan dan anak dari kelompok agama yang dituduh bid’ah. 

“Isu kekerasan terhadap perempuan sering dianggap bukan isu. Korbannya sering justru dipersalahkan. Padahal, setelah kasus perkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998, terbongkar, semakin terkuak terjadinya teror dan perbudakan seksual di daerah-daerah operasi militer dan dalam peristiwa politik, dan sebelumnya, termasuk Tragedi 65 yang mengantarkan kelahiran Orde Baru,” katanya. 

Ketika ruang berhasil direbut, pendekatan the personal is political diilhami oleh pernyataan Carol Hanisch dalam Notes from the Second Year: Women’s Liberation (1970), sangat strategis untuk memaknai fakta.  

Misalnya, mahalnya harga-harga kebutuhan pokok,  biaya pendidikan anak, biaya kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi, transporatasi, PHK yang marak, kemiskinan yang meruyak, dan hal-hal yang sifatnya pribadi lainnya sebetulnya disebabkan oleh kegiatan politik di ruang publik, di lembaga-lembaga pengambil keputusan publik, yaitu pemerintahan dan parlemen. Dengan demikian, tidak ada lagi pembatas antara ruang publik dan ruang pribadi.

Gender dan Demokrasi Substansial

Gagasan menyuntikkan pendekatan dan perspektif gender merupakan cara untuk mewujudkan demokrasi substansial, bukan hanya prosedural. Jadi maknanya tidak terbatas pada kemenangan suara mayoritas, melainkan menukik kepada intinya, yakni kesetaraan relasi kuasa di tingkat hubungan-hubungan sosial dan individual. Di tingkat selanjutnya adalah perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan hak sebagai warganegara.
  
“Pendekatan dan perspektif  gender yang mampu membongkar relasi-relasi kuasa yang timpang  harus masuk ke seluruh isu, politik, ekonomi, sosial, budaya, karena relasi kuasa yang timpang terjadi  di dalam masyarakat yang tersekat-sekat secara politik ideologi dan agama.  Juga terjadi antar perempuan karena perempuan bukanlah kelompok yang monolitik,” ujar Maria Hartiningsih.

Di dalam masyarakat, terjadi apa yang disebut dehumanisasi sistematik, mengutip terminologi  ilmuwan dan feminis bell hooks (1997). Yakni,  tingkat penindasan yang berlapis-lapis, dan yang berada di lapisan terbawah yang paling tertindas. Mereka adalah adalah anak perempuan dari keluarga termiskin, agama minoritas, ras minoritas, orientasi seksual minoritas, dari semua yang dimasukkan ke dalam kotak minoritas. Di luar itu juga mencakup kelompok yang paling tidak bisa bersuara dari kelompok mana pun ia berasal. 

“Selama terjadi relasi kuasa yang timpang, yang membuat yang lain terbisukan, gagasan demokrasi yang substansial sulit terwujud. Seluruh analisis relasi kuasa tak hanya berlaku bagi perempuan dan laki-laki, tetapi secara lebih luas; yakni hubungan antara yang berkuasa dan yang tersubordinasi (MacKinnon, 1989). Dalam hal ini pisau-pisau analisis baru itu harus selalu diasah untuk menjaga kekritisan terhadap bantuan keuangan dari lembaga-lembaga internasional melalui berbagai program pembangunan karena implementasi dari program-program itu seringkali abai terhadap kepentingan perempuan dan kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ”liyan” atau ’’the other’’ dan dilemahkan,” ujarnya. 

Relasi kuasa yang menjadi alat bedah penting di dalam isu-isu perempuan dan jender juga merupakan pisau analisis yang tajam untuk memahami masyarakat kontemporer yang dicirikan oleh dunia konsumsi dan media massa, terutama televisi.

Kata Maria Hartiningsih, di sisi lain, tantangan dalam peliputan untuk memberi makna atas perubahan suasana zaman masih banyak di depan mata. Ancaman terhadap pluralisme, dengan lahirnya berbagai peraturan daerah yang menggunakan dasar moral dan agama di Indonesia  dan menyasar tubuh perempuan. Ancaman terhadap pluralisme juga mengancam mereka dengan preferensi seksual yang dipandang “berbeda” (LGBT),  serta cara beribadat yang berbeda .

“Pendekatan dan perspektif gender membutuhkan waktu dan kerendahan hati untuk terus belajar, berkolaborasi dengan aktivis dan ilmuwan feminis, dan semangat militan untuk merebut ruang,” sebutnya. 

Kata Maria Hartiningsih, speed (kecepatan) menjadi syarat dalam konvergensi media, namun jurnalis yang menulis untuk media massa cetak, khususnya, harus mengimbanginya dengan laporan-laporan mendalam dengan perspektif khusus mengenai berbagai berbagai isu kritis. Para wartawannya harus memahami definisi gender dalam pengertian lebih luas, terkait relasi kuasa dan dominasi. Harus diingat, betapa pun, media massa adalah male dominated route. 

“Pencitraan perempuan dan anak dalam berbagai bentuk media massa di seluruh dunia lebih banyak bersifat stereotip daripada representatif. Anak masih dicitrakan sebagai ’manusia kecil’, sehingga hak-hak dasarnya sebagai manusia dipinjamkan oleh orangtua dalam konsep kepemilikan. Konsep inilah yang membuat dalam beberapa tradisi, orangtua bisa memaksa anaknya memasuki pasar kerja dalam usia di bawah umur, bahkan menjual anak perempuan mereka di pasar tenaga kerja dan pasar seks komersial,” terangnya.

Hubungan seksual dengan anak-anak adalah perbuatan kriminal. Akan tetapi, yang paling sulit adalah bagaimana mengajak semua anggota masyarakat peduli pada persoalan tersebut dan mematahkan mitos-mitos mengenai kekerasan seksual terhadap anak. 

Peran Media Sangat Penting 

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan tiga bentuk eksploitasi seksual komersial terhadap anak, yakni prostitusi anak, perdagangan anak lintas batas dan di dalam suatu negara untuk kepentingan eksploitasi seksual komersial, serta pornografi yang melibatkan anak- anak. Para pelakunya mendapat keuntungan dari tindakan itu. 

“Laporan Komnas Perempuan 2016 menyebutkan, setiap jam setiap dua jam terdapat tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Ini berarti, ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya,” katanya. 

Komnas Perempuan mengidentifikasi kekerasan seksual memiliki 15 bentuk, yaitu: Perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual/diskriminatif, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, dan kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, pencegahan kekerasan dalam rumah tangga belum memadai karena sepertiga perempuan di seluruh dunia masih dilecehkan secara fisik.

Disebutkan, untuk keperluan bisnis seks, sekitar satu juta anak terjebak dalam perdagangan seks setiap tahun. Sekitar 72 persen anak yang dilacurkan terjebak ke dalam bisnis kriminal ini karena ditipu. Dalam hal ini mitos bahwa anak-anak memilih sendiri profesi ini dengan mudah bisa dipatahkan. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual merasakan ketidakberdayaan dalam waktu lama, tidak punya rasa percaya diri, dan memiliki perspektif tidak sehat mengenai seksualitas. 

“Kalau benar 30 persen dari total pekerja seks di Indonesia yang berjumlah 650.000 adalah anak-anak berusia 10-18 tahun, maka sesungguhnya persoalan ini merupakan hal yang sangat serius. Jumlah ini pun merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Banyak orang berpikir hanya anak perempuan yang rentan terhadap eksploitasi Seksual,” katanya.

Faktanya, meskipun sebagian besar korban eksploitasi seksual adalah anak perempuan, anak laki-laki juga bisa menjadi korban. Namun, kekerasan seksual terhadap anak laki-laki amat jarang diungkapkan dan hampir tidak diakui bahwa peristiwa itu sungguh terjadi.

Ditambahkan, remaja laki-laki yang menjadi target laki-laki dewasa merasa "kelelakian" dan orientasi seksual mereka dipertanyakan kalau mereka menolaknya. Kebanyakan laki-laki remaja yang menjadi target perempuan dewasa tidak menganggap kontak seksual itu merupakan bagian dari kekerasan seksual. Banyak pula yang menganggap eksploitasi seksual terhadap anak disebabkan oleh kemiskinan.

Faktanya, kemiskinan hanya salah satu penyebab eksploitasi seksual terhadap anak. Kemiskinan saja bukanlah alasan menjual anak untuk bisnis seks komersial. Di dalam masyarakat miskin, yang umumnya ditandai dengan tingginya angka buta aksara dan kurangnya wawasan, membuat para agen perekrut dengan mudah mencari anak-anak dari kawasan kumuh di perkotaan dan di kawasan pedesaan untuk dijebak ke dalam bisnis tersebut.

“Keluarga berantakan, globalisasi, budaya lokal, rendahnya status perempuan, serta lemahnya penerapan hukum merupakan faktor lainnya. Banyak keluarga yang menyerahkan anak gadisnya kepada agen tahu apa yang akan terjadi pada anak gadis mereka. Para orangtua itu butuh uang bukan sekadar untuk keluar dari rantai kemiskinan, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan material serta kesenangan sendiri,” kata Maria Hartiningsih.

Budaya konsumtivisme yang dipicu oleh acara-acara di televisi, semakin mudahnya mengakses infoemasi dari gawai, juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak mudah terjebak ke dalam pasar seks. Di sisi lain, pengangguran, ketidakpastian akan masa depan dan mudahnya mengakses pornografi juga menjadi sebab terjadinya perkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan, anak perempuan dan anak laki-laki. Pada era informasi, anak-anak pun bisa bertindak sebagai ‘mami’ atau ‘pimp’yang memperdagangkan teman-temannya.

Prostitusi anak (terkuak di Bogor) juga menggunakan sarana teknologi informasi. Memang banyak korban berasal dari keluarga miskin.  Akan tetapi, faktanya juga menunjukkan, kekerasan seksual dan eksploitasi terjadi di mana-mana. Pelakunya berasal dari berbagai kelompok sosial dan ras, berbagai tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan. Korban selalu berada dalam posisi yang lebih rendah. Pelakunya bisa jadi paedofil, tetapi bisa jadi juga merupakan pelaku "situasional".

Dikatakan, sebagian besar anak yang mengalami kekerasan seksual di luar bisnis seks komersial, mengalami kekerasan dari orang-orang terdekatnya, termasuk orangtuanya sendiri. Kalau berita di media massa mengenai kekerasan seksual dan perkosaan terhadap anak lebih banyak melibatkan masyarakat kelas menengah bawah, bukan berarti hal itu tidak terjadi di keluarga kelas menengah atas. Tetapi, keluarga kelas menengah dan menengah atas lebih memiliki kemampuan untuk menyembunyikannya.

Hak anak dilindungi oleh sejumlah konvensi internasional. Dalam konvensi tersebut, khususnya Konvensi Hak Anak (CRC), anak harus dihargai sebagai manusia, bukan setengah manusia. Anak harus mendapatkan perlindungan berkaitan dengan kepentingan terbaik mereka atas dasar penghargaan terhadap pandangan anak dan tidak diskriminatif. Indonesia juga memiliki UU no 23 tahun 2002 yang diperbarui dengan UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.  

Kata Maria Hartiningsih, sejak kecil anak harus dibantu untuk mengetahui substansi dari karakter manusia, bukan warna kulit dan agama atau kepercayaannya. Perlindungan harus didasari pada mindset untuk menghargai perbedaan dengan yang lain atas dasar hak.

Sensor budaya memainkan peran besar dalam pemberitaan mengenai eksploitasi seksual terhadap anak di banyak kebudayaan. sensor jenis ini tidak akan menyelamatkan siapa pun.

Persoalan memberitakan dan bagaimana memperoleh berita merupakan dua hal penting menyangkut etika pemberitaan mengenai isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kekeliruan persepsi mengenai masalah itu akan menjadi counter productive dalam upaya-upaya mempromosikan hak-hak asasi dan martabat manusia.

“Dalam tradisi  yang masih terus berlangsung di banyak negara, perempuan mengalami praktik-praktik kekerasan, seperti female genital mutilation (FGM) atau mutilasi kelamin perempuan, kekerasan dan kejahatan atas nama kehormatan keluarga,  perkawinan usia anak (kasus ini banyak terjadi di Indonesia karena peninjauan kembali kebijakan untuk menaikkan usia perkawinan ditolak,” katanya. 

"Kita memutuskan untuk tidak melaporkan berita itu karena akan membawa reputasi buruk terhadap sekolah tersebut," begitu alasan seorang wartawan. Jurnalis lainnya misalnya, akan mengatakan, "Kita tahu kekerasan seksual terjadi di tempat-tempat beribadah atau sekolah agama, tetapi kalau kita melaporkannya, hal itu akan berpengaruh terhadap pandangan orang mengenai agama.”

Jurnalis lainnya lagi menyatakan, "Banyak orangtua tahu anak laki-laki mereka pergi dengan wisatawan kulit putih untuk mendapatkan uang. Kenapa kita yang mesti ribut?“

"Bagaimana saya dapat melaporkan seorang ayah memperkosa anak kandungnya yang umurnya 12 tahun? Mengapa saya merusak gagasan yang mulia tentang keayahan?"

Televisi dan radio nasional di banyak negara berkembang dan telah berhasil dimanfaatkan untuk mengkampanyekan berbagai hal, mulai melek huruf, imunisasi anak, masalah kesehatan perempuan serta kampanye menentang praktik-praktik tradisional yang berbahaya bagi perempuan dan anak perempuan, dan terutama adalah kekerasan. Di sini tampak bahwa sebenarnya media merupakan sarana terbaik untuk mentransformasi pencitraan tradisional mengenai perempuan dan anak. 

Namun media masih terperangkap pada citra-citra tentang perempuan. Di Indonesia, perempuan lebih banyak digambarkan melalui P-5: citra peraduan, citra pigura, pilar rumah tangga, citra pergaulan dan citra pinggan (Tomagola, 1998).

Dalam citra, perempuan hilang di balik bayang-bayang suami dan anak-anak hilang di balik bayang-bayang orang dewasa. Dehumanisasi sistematik terjadi dengan pihak yang dalam struktur sosial terendah berada di peringkat terbawah. Yakni anak perempuan dr kelompok miskin apalagi kalau ia berasal dr etnis dan agama minoritas dan cacat. 

Esensi kerja jurnalistik adalah disiplin pada verifikasi. Jurnalis menyandarkan pekerjaannya pada disiplin profesional untuk memverifikasi informasi. Inilah yang membuat jurnalisme berb eda dengan berbagai jenis model komunikasi lainnya, seperti propaganda, fiksi atau hiburan. 

Jurnalis harus menjadi pemantau independen dari kekuasaan. Dengan menggunakan  kaidah jurnalistik, Jurnalisme memiliki tugas yang tak biasa, yakni menjadi ‘watchdog’ atau pengawas terhadap para pemegang kekuasaan (dalam pengertian luas, mulai dari struktural, mau pun di luar struktur formal) yang posisi, pandangan dan keputusannya sangat berdampak pada warga. 

“Sebagai jurnalis kita wajib melindungi kebebasan peran ‘watchdog’ ini, tidak mereduksi maknanya dengan mengeksploitasi berita demi kepentingan bisnis/komersial. Jurnalisme pada dasarnya adalah storytelling dengan suatu maksud. Efektivitas kerja jurnalistik diukur dengan seberapa tulisan itu menyentuh dan mencerahkan audience. Artinya, jurnalis harus terus menerus bertanya tentang bentuk dan informasi yang memiliki nilai penting bagi warga,” katanya. (JP-Asenk Lee Saragih)


 

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar