![]() |
| Bara Lama yang Kembali Menyala. (IST) |
Oleh: Asenk Lee Saragih
Jambipos Online, Jambi - Di penghujung Oktober 2025, langit Kelurahan Rawasari, Kecamatan Alam Barajo, Kota Jambi, kembali memerah, bukan oleh senja, melainkan oleh kobaran api yang melalap habis 12 rumah dan bangunan di kawasan eks Lokalisasi Payo Sigadung, Kota Jambi.
Sabtu (31/10/2025) sekitar pukul 14.30 WIB, warga dikejutkan oleh kepulan asap tebal yang membumbung dari Gang 3, Jalan Syailendra, RT 05. Dalam hitungan menit, suara teriakan, pecahan kaca, dan ledakan kecil dari instalasi listrik terdengar bertubi-tubi. Kawasan padat itu berubah menjadi lautan api.
Dugaan sementara, api berawal dari korsleting listrik di salah satu rumah warga. Percikan kecil dari plafon triplek menjalar cepat ke bangunan lain, mayoritas berdinding papan dan beratap seng, bahan mudah terbakar yang menjadi “bom waktu” di kawasan permukiman tua ini.
“Tindakan cepat sangat penting agar api tak menjalar dan kepanikan tak meluas,” ujar Kapolsek Kotabaru KOMPOL Jimi Fernando, S.I.K., yang turun langsung memimpin pengamanan.
Sembilan unit mobil pemadam kebakaran dikerahkan. Setelah dua jam pertempuran dengan si jago merah, api baru benar-benar padam pukul 16.10 WIB. Tak ada korban jiwa, tapi kerugian mencapai sekitar Rp1,5 miliar. Puluhan warga kini kehilangan tempat tinggal.
Namun di balik kepulan asap itu, tersisa pertanyaan lama yang belum padam: Mengapa kawasan yang sudah “dibersihkan” bertahun-tahun lalu, terus muncul dalam catatan kelam Kota Jambi?
Dari Lokalisasi ke Permukiman Rawan
Payo Sigadung sejatinya sudah ditutup melalui Perda No. 2 Tahun 2014 tentang pemberantasan prostitusi dan pelacuran. Tapi realitas di lapangan berkata lain: kawasan ini tidak pernah benar-benar tidur.
Berulang kali, aparat melakukan operasi dan razia: April 2024, Polsek Kotabaru menurunkan 39 personel, hasilnya nihil, tak ditemukan aktivitas prostitusi.
Mei 2025, hanya setahun berselang, 17 wanita diduga PSK kembali terjaring operasi Pekat di titik yang sama. Juli 2023, enam pengedar narkoba ditangkap di area tersebut oleh Polresta Jambi.
Kawasan ini, seperti bara dalam sekam, tampak padam di permukaan, tapi terus menyala di bawah tanah. Pergantian fungsi yang tak diiringi dengan pengawasan dan tata ulang sosial-ekonomi membuatnya tetap rentan, baik secara sosial maupun fisik.
Kebakaran besar ini seolah membuka luka lama yang belum sembuh. Kawasan eks lokalisasi, yang seharusnya menjadi contoh “pemulihan moral dan sosial”, justru menampakkan wajah lain: ketimpangan, ketidakamanan, dan infrastruktur yang rapuh.
Bangunan-bangunan semi permanen berdempetan tanpa jarak aman, jaringan listrik menjuntai di atas atap seng, dan kabel liar menjadi pemandangan biasa. Pihak PLN kerap kali memperingatkan risiko korsleting di kawasan padat seperti ini, tapi peringatan tanpa tindak lanjut hanyalah formalitas.
“Harusnya ada audit instalasi listrik di pemukiman padat. Banyak yang pasang kabel sendiri tanpa standar keselamatan,” ujar salah satu warga setempat yang enggan disebut namanya.
Ironisnya, kawasan ini justru menjadi target revitalisasi pemerintah kota. Dalam beberapa tahun terakhir, Pemkot Jambi menggembar-gemborkan rencana menjadikannya “Islamic Center” dan pusat perdagangan batu akik.
Namun, di lapangan, belum ada infrastruktur pendukung yang jelas, tak ada penataan kabel, tak ada jalur evakuasi, bahkan hidrannya pun tak berfungsi.
Panggung Budaya di Tengah Abu
Pada Oktober 2025, hanya beberapa minggu sebelum kebakaran, komunitas Teater Abdul Muluk Reborn tampil di kawasan ini dalam sebuah pertunjukan bertema “Kampung Budaya”. Panggung sederhana dibangun di antara deretan rumah kayu yang kini sudah jadi arang.
Pertunjukan itu sejatinya menjadi simbol harapan, sebuah usaha warga dan seniman lokal untuk mengubah citra kawasan kelam menjadi ruang budaya. Namun ironi datang cepat: api yang menghanguskan rumah-rumah itu juga membakar mimpi mereka.
Revitalisasi sosial memang tidak bisa hanya mengandalkan kegiatan seremonial. Dibutuhkan keberanian politik dan koordinasi nyata lintas instansi agar eks lokalisasi tak hanya berubah nama, tapi juga berubah nasib.
Ketua Komisi I DPRD Kota Jambi pernah menyoroti lemahnya pengawasan Satpol PP di kawasan ini pada November 2023. Ia menyebut ada “kecolongan” meski sudah ada Perda tegas. Kini, setahun kemudian, kobaran api seakan menjadi bukti bahwa pengawasan tak cukup kuat untuk mencegah bencana, baik sosial maupun fisik.
Musim panas ekstrem, jaringan listrik tua, dan kerapatan bangunan menjadi kombinasi maut. Tanpa penataan menyeluruh, tragedi seperti ini hanya menunggu giliran.
Kebakaran di Payo Sigadung bukan sekadar peristiwa insidental, ia adalah simbol rapuhnya tata ruang sosial pasca-lokalisasi. Pemerintah Kota Jambi perlu meninjau ulang strategi “revitalisasi simbolik” yang lebih banyak berhenti pada slogan, bukan solusi.
.jpg)
.jpg)
.webp)
.jpeg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE