Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Widget HTML

 


Pemanfaatan Gambut dengan Memberdayakan Masyarakat




Jambipos Online, Bogor-Gubernur Jambi, H.Zumi Zola,S.TP,MA mengemukakan, Pemerintah Provinsi (Pemrov) Jambi terus mendorong pengelolaan lahan gambut secara lestari, dan, dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut tersebut, pemberdayaan masyarakat dikedepankan. 

Hal itu disampaikan oleh Zola saat memberikan paparan dengan judul “Peranan Pemerintah Provinsi Jambi dalam Perlindungan Gambut Jambi” dalam Konferensi Keberlangsungan Ekosistem Gambut untuk Keselamatan dan Kesejahteraan Rakyat, bertempat di Institut Pertanian Bogor (IPB) International Convention Center, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (21/11) sore.

Gubernur Jambi, H.Zumii Zola menjadi salah satu narasumber dalam konferensi tersebut, sebagai perwakian dari gubernur yang didaerahnya terdapat lahan gambut yang luas.

Zola mengatakan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selama ini dengan peak (puncaknya) tahun 2015 lalu, yang mengakibatkan kabut asap yang sangat pekat dan rusaknya lingkungan, termasuk lahan gambut telah menjadi pembelajaran yang sangat berharga, dengan harapan agar kebakaran hutan dan lahan, termasuk didalamnya lahan gambut tidak terjadi lagi.

Zola mengungkapkan, pada saat puncak kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, terdapat 1.564 hotspot (titik panas) di Provinsi Jambi, puncaknya bulan September 2015, dengan total luas lahan yang terbakar 130.000 Ha dan menyebabkan kerugian yang diperkirakan mencapai Rp12 triliun.

Zola mengungkapkan, dari pemadaman lokasi yang terbakar, yang paling sulit adalah pemadaman kebakaran di areal gambut. “Selain karena banyaknya hotspot, lokasi hotspot yang sagat sulit dijangkau, dan air sangat sulit didapatkan,” ujar Zola.

Pemadaman karhutla di Provinsi Jambi, lanjut Zola, dengan menggandeng dan bekerjasama dengan TNI, Polri, Manggala Agni, masyarakat, dan tentunya dengan bantuan Pemerintah Pusat. “Kami juga membetuk Satgas Penanggulangan Karhutla dengan Danrem 042/Garuda Putih Jambi sebagai Dasatganya,” jelas Zola.

Zola mengatakan, selama ini jika terjadi kearhutla, opini yang biasanya berkembang adalah karena musim kemarau, padahal, kata Zola, menurut data yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, hanya 10% kahutla yang disebabkan oleh faktor alam, selebihnya, 90% adalah karena perbuatan manusia. 

Zola menegaskan, opini tersebut harus diubah, dan kabut asap yang sangat pekat tahun lalu, harus dijadikan sebagai pelajaran untuk berubah, yakni pergeseran dari pemadaman kebakaran menjadi pencegahan kebakaran hutan dan lahan.

“Untuk itu, ada dua hal yang dibenahi, yaitu produk hukum dan langkah nyata di lapangan. Produk hukum, yakni dengan menghasilkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jambi yang melarang membuka lahan baru dengan cara membakar, sedangkan langkah nyata di lapangan, salah satunya mengelola lahan gambut menjadi areal pertanian,” terang Zola.

Zola, mengemukakan, berkaitan dengan pelarangan membuka lahan baru dengan cara membakar, Pemerintah Provinsi Jambi mengadakan Program Satu Eskavator (alat berat) Satu Kecamatan, tidak harus eskavator, namun disesuaikan dengan kebutuhan kecamatan yang bersangkutan, dimana eskavator tersebut dimaksudkan untuk membuka lahan masyarakat terutama untuk areal pertanian tanpa membakar.

Dikatakan oleh Zola, pengelolaan lahan gambut tersebut ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tentunya dengan cara yang menjaga kelestarian lingkungan, dan dengan memberdayakan masyarakat terutama masyarakat di sekitar areal gambut, dan program satu eskavator satu kecamatan tersebut merupakan upaya untuk membantu meningkatkan aktivitas perekonomian masyarakat.

Zola menambahkan, maraknya pembukaan lahan dengan cara membakar tidak terlepas dari mahanya biaya untuk membuka lahan dengan cara tanpa membakar, yakni Rp20 – 25 juta/Ha untuk land clearing.

Zola menyatakan, upaya membuka lahan termasuk lahan gambut untuk areal pertanian dan perkebunan tanpa membakar dengan pengadaan satu alat berat satu tahun masuk dalam Visi Misi Pembangunan Provinsi Jambi saat ini, yakni untuk menekan karhutla dan untuk membantu aktivitas perekonomian masyarakaat. “Dana operasionalnya, bisa dari Dana Desa dan Alokasi Dana Desa,” tutur Zola.

Khusus utuk perusahaan, Zola menyatakan bahwa dia sudah menekankan agar perusahaan turut mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan, perusahaan harus memonitor dan ikut memadamkan kebakaran jika terjadi kebakaran di areal perusahaan tersebut termasuk di dekat areal perusahaannya, serta supaya perusahaan menyediakan peralatan untuk pemadaman kebakaran, sebagai antisipasi.

“Sedangkan, apabila ada indikasi pembiaran terhadap kebakaran lahan oleh perusahaan, maka saya merekomendasikan agar izin perusahaan dicabut oleh Pemerintah Pusat,” tegas Zola. 

Sebelumnya, Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG), Myrna A. Safiri,SH,MA,PhD menyatakan, konferensi keberlangsungan ekosistem gambut ini adalah kegiatan bersama pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi masyarakat sipil, bukan hanya nasional, tetapi juga regional (Singapura, Kamboja, dan Filipina).

Myrna mengatakan, keikutsertaan peserta dari negara lain menandakan bahwa bahasan mengenai gambut, sudah saatnya tidak dibatasi oleh sekat-sekat administrasi, namun menembus baats teritorial.

Myrna menjelaskan, total luas lahan gambut di Indonesia 15 juta Ha, dari 15 juta Ha tersebut, 12,9 Ha terdapat di 7 provinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua. “2,4 juta Ha perlu direstorasi,” ujar Myrna. Myrna mengatakan, salah satu cara restorasi gambut adalah restorasi hidrologi melalui kanal-kanal, namun apabila diperlukan bisa juga ditimbun, dan pembuatan sumur bor di areal gambut.

Dikatakan oleh Myrna, target BRG, pada tahun 2020 terbentuk 1.000 Desa Peduli Gambut di Indonesia, terdiri dari 300 didanai APBN, 200 didanai donor, dan 500 didanai konsesi.

Myrna menekankan, restorasi gambut ditujukan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar areal gambut, dengan tetap melestarikan lingkungan. 

“Restorasi gambut tidak akan menyurutkan ekonomi masyarakat, sebaliknya membangun pertanian terpadu yang ramah lingkungan. Jadi, keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah misi Badan Restorasi gambut. Restorasi gambut adalah upaya memulihkan kemanusiaan,” jelas Myrna.

Direktur Sawit Watch, Jefri Gideon Saragih menyatakan, Sawit Watch berdiri pada tahun 1998, dan Sawit Watch tidak hanya melakukan kampanye, tetapi juga menjaga dan melindungi masyarakat di sekitar lahan gambut. “Sawit Watch fokus di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumaera Selatan,” sebut Jefri Gideon Saragih.

Dikatakan oleh Jefri Gideon Saragih, pada tahun 2016 ini, kabut asap sudah menurun drastis jika dibandingkan tahun lalu, dan menyatakan bahwa Sawit Watch optimis tahun 2017, kabut asap tidak terjadi lagi, termasuk di lahan gambut, manakala semua pihak berkomitmen memelihara lingkungan.

Konferensi keberlangsungan ekosistem gambut tersbut diikuti oleh para akademisi lingkungan dan pertanian, para praktisi pertanian dan perkebunan, perwakilan masyarakat yang berdoisili di sekitar areal gambut, perwakilan kepala desa yang di wilayahnya terdapat lahan gambut yang luas, LSM lingkungan, serta para peneliti. (Mustar Hutapea).

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar